PRO KONTRA MANTAN TERPIDANA JADI CALEG
Pemilihan
Legislatif yang akan dilaksanakan pada tahun 2019 nantinya saat ini ternyata
masih menimbulkan pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut salah satunya pada
wilayah regulasi tentang persyaratan bakal calon anggota legislatif yang diatur
dalam Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota (“PKPU
20/2018”). Sebagaimana yang kita ketahui dalam PKPU 20/2018 tersebut pada
Pasal 7 ayat (1) huruf h menyatakan bahwa salah satu syarat bagi bakal calon
legilslatif adalah bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual
terhadap anak, atau korupsi.
Peraturan
ini tentu saja bisa dipandang dari berbagai sudut pandang dan sejujurnya ini
tidak sepenuhnya berupa peraturan yang baik bagi nalar dan akal sehat. Bukan
dalam rangka membela penjahat, namun dalam kesempatan ini saya hanya mencoba
memaparkan berbagai sudut pandang yang sempat terpikirkan dalam melihat
peraturan ini.
Retributif vs
Reintegrasi Sosial
Hal
pertama yang perlu kita pahami adalah bahwa paradigma pemasyarakatan saat ini
sudah bergeser dari sistem pemidanaan yang berdasarkan pada prinsip retributif (pembalasan), deterrence (penjeraan) dan resosialisasi[1]
ke prinsip reintegrasi sosial. Artinya terpidana dalam menjalani masa
pemidanaannya tidak lagi diposisikan sebagai orang yang perlu mendapat balasan
atas perbuatan yang telah dilakukannya dan tidak dianggap sebagai subjek yang
kurang bersosialisasi di masyarakat serta pemidanaan tidak lagi ditujukan untuk
menciptakan efek jera. Namun, lebih kepada pembinaan agar terpidana dapat
kembali diterima di masyarakat sebagai manusia yang utuh[2].
Dari
premis ini maka secara ideal, mereka yang telah menjalani pemidanaan di lembaga
pemasyarakatan dan telah dibebaskan seharusnya sudah menjadi manusia utuh yang
siap diterima oleh masyarakat sebagaimana tujuan dari reintegrasi sosial. Namun
pertanyaannya, apakah masyarakat kemudian berfikir hal yang sama? Apakah
masyarakat bisa menerima orang-orang yang telah menjalani masa pidananya dengan
memposisikan mereka kembali sama di tengah-tengah masyarakat? Ataukah
masyarakat seketika berubah menjadi lembaga justifikasi kesalahan seumur hidup
bagi para mantan napi? Dimana cap mantan napi dianggap sebagai cap kesalahan seumur
hidup yang harus ditanggung oleh seseorang yang bahkan telah menjalani masa
pemidanaannya.
Ini
yang menjadi problem, bahwa reintegrasi sosial yang menjadi prinsip utama
lembaga pemasyarakatan ternyata disatu sisi tidak terintegrasi sebagai perspektif
bagi masyarakat pada umumnya. Masih banyak orang yang melihat bahwa pemidanaan
yang pernah dijalani oleh mantan napi atas perbuatan yang pernah dilakukannya
seolah belum cukup untuk menghapus kesalahannya. Sehingga ketika seorang mantan
napi selesai menjalani masa pemidanaannya dan keluar dari lembaga
pemasyarakatan, masyarakat tetap saja menganggap dia sebagai orang yang salah
sumur hidup dan tidak bisa diposisikan sebagai manusia seutuhnya yang sama
dengan manusia-manusia yang lain. Masyakarat menjadi lembaga post trial.
Lalu
apakah cara berfikir masyarakat tersebut salah? Saya pikir perdebatannya bukan
pada benar atau salahnya cara berfikir masyakat tersebut, namun persoalan ini
lebih kepada bagaimana reintegrasi sosial bisa diterima sebagai cara berfikir
yang bukan hanya milik satu lembaga saja yaitu lembaga pemasyarakatan, akan
tetapi menjadi paradigma yang berlaku di semua sub sistem sosial.
Lalu
berdasarkan premis tersebut, bagaimana seharusnya kita melihat ketentuan Pasal
7 ayat (1) huruf h PKPU 20/2018? Secara gamblang kita bisa mengatakan
ketentuan tersebut tidak sesuai dengan prinsip reintegrasi sosial dalam sistem
pemidanaan di Indonesia. Ini seperti benturan dua perspektif dari dua institusi
yang sama-sama merupakan organ Negara. Bahkan secara kritis kita bisa
mengatakan bahwa dari prespektif negara, negara inkonsisten memperlakukan
mantan napi. Karena disatu sisi dia telah mempersiapkan napi untuk dapat
diterima kembali di masyarakat melalui sistem pemidanaan yang dijalaninya di lembaga
pemasyarakatan, namun di sisi lain para mantan napi juga tidak diperlakukan
sama di masyarakat oleh negara dengan membatasi hak-hak
politiknya.
PKPU
20/2018 tentu saja akan dianggap positif bagi mereka yang berfikir bahwa mantan
napi adalah orang yang bersalah seumur hidupnya. Dukungan terhadap PKPU ini
lahir dari friksi masyarakat ini. Namun apakah hal tersebut fair ketika kita
melihat dari sisi yang lain? Bahwa seseorang yang telah menjalani masa
pemidanaan di lembaga pemasyarakatan dengan prinsip reintegrasi sosial artinya
kembali memperoleh semua hak-haknya yang paling mendasar ketika dia kembali ke
masyarakat. Termasuk hak politik sepanjang tidak dicabut oleh putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde).
Lalu
dimanakah posisi negara sebagai the
guardian of human rights? Bukankah ide paling fundamental kita dalam
membentuk negara adalah karena kita butuh perlindungan atas hak-hak kita yang
paling mendasar, bukan membentuk negara karena kita ingin kehilangan
hak-hak tersebut. Begitupun negara senyatanya tidak dibentuk sebagai lembaga pelegitimasi
dendam.
Rasio Legis dan
Konsekuensi Kelompok Norma
Kalau
kemudian kita melihat pada bagian konsideran PKPU 20/2018 ini, maka PKPU ini
lahir sebagai regulasi organik yang didasarkan pada ketentuan Pasal 249 ayat
(3) dan Pasal 257 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum (“UU 7/2017”) yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 249 ayat (3)
“Ketentuan
lebih lanjut mengenai proses verifikasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota diatur dalam Peraturan KPU.”
Pasal 257 ayat (3)
“Ketentuan
lebih lanjut mengenai pedoman teknis pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota diatur dalam Peraturan KPU.”
Disini
kita bisa lihat bahwa norma yang menjadi dasar pembentukan PKPU 20/2018
tersebut sesungguhnya adalah norma teknis tentang dua hal yaitu tentang proses
verifikasi bakal calon dan tentang pedoman teknis pencalonan anggota DPR, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Posisi kedua norma tersebut dalam PKPU
20/2018 adalah pada bagian konsideran yang berarti norma tersebut adalah pokok
pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan
perundang-undangan[3]. Artinya posisi PKPU 20/2018 ini tidak sebagai peraturan otonom (autonome satzung), melainkan peraturan pelaksanaan (verordnung) dari ketentuan Pasal 249
ayat (3) dan Pasal 257 ayat (3) UU 7/2017 tersebut.
Sebagai peraturan pelaksanaan (verordnung),
maka PKPU adalah kelompok norma yang terbentuk dari delegasi kewenangan
pembentukan undang-undang (delegatie van
wetgevingsbevoegdheid), bukan artibusi kewenangan pembentukan undang-undang
(attributie van wetgevingsbevoegdheid)
yang melahirkan kelompok norma otonom. Oleh karena itu, rasio legis dari
pembentukan PKPU 20/2018 ini tidak seharusnya keluar dari frame bahwa ia lahir
sebagai peraturan pelaksana, bukan peraturan otonom yang berwenang untuk
mengatur hal yang betul-betul baru.
Pasal
249 ayat (3) dan Pasal 257 ayat (3) UU 7/2017 yang menjadi dasar pembentukan
PKPU 20/2018 tentu saja tidak mengatur tentang tidak bolehnya mantan napi
menjadi bakal calon legislatif. Namun apabila mempertanyakan hal tersebut masih
saja dianggap tidak masuk akal mengingat Pasal 249 ayat (3) dan Pasal 257 ayat
(3) UU 7/2017 hanyalah berupa kalimat perintah pembentukan peraturan KPU, maka kita
bisa melihat UU 7/2017 secara keseluruhan sebagai Undang-Undang yang berada di
atas PKPU 20/2018 ini. Dan ternyata, dalam UU 7/2017 sama sekali tidak ada
ketentuan yang mengatur bahwa bakal calon legislatif tidak boleh orang yang
pernah menjadi terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual anak dan korupsi.
Artinya, ketentuan tentang tidak bolehnya mantan terpidana bandar narkoba,
kejahatan seksual anak dan korupsi menjadi bakal calon legislative adalah
ketentuan yang baru muncul dalam PKPU 20/2018 dan tidak ada pada peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yang menjadi dasar pembentukannya.
Lalu,
apakah sebuah peraturan perundang-undangan yang kemudian hanya berupa peraturan
pelaksanaan (verordnung) dapat
melahirkan norma baru? Sedangkan konstruksi norma yang terkandung didalamnya
adalah kelompok norma yang terbentuk dari delegasi kewenangan pembentukan
undang-undang (delegatie van wetgevingsbevoegdheid).
Tanpa berusaha menjadi pembela terhadap mantan napi, namun secara akademik saya
pikir ini adalah persoalan yang harus kita pikirkan bersama.
Positif
atau Diskriminatif?
Terminologi
positif tentu saja bukan bentuk perlawanan dari diskriminatif. Namun positif
atau diskriminatif yang saya maksud di sini adalah terkait dengan konsekuensi
penerapan dari ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf h PKPU 20/2018 tersebut. Apakah
penerapannya membawa hal yang postitif di masyarakat atau justru menimbulkan diskriminasi.
Ada
hal menarik lainnya yang seharusnya kita pikirkan terkait Pasal 7 ayat (1)
huruf h PKPU 20/2018 ini. Bahwa Pasal ini kemudian hanya membatasi pada 3
(tiga) tindak pidana saja yaitu, bandar narkoba, kejahatan seksual pada anak
dan korupsi. Norma tersebut secara adressat tentu saja merupakan norma umum,
namun dari aspek perbuatan yang diatur maka norma tersebut adalah norma yang
konkret[4].
Artinya tindakan yang diatur dalam norma tersebut adalah tindakan yang limitatif.
Pertanyaannya
kemudian adalah, apakah terpidana selain 3 (tiga) tindak pidana tersebut dapat
mencalonkan? Kalau berdasarkan premis bahwa norma tersebut adalah norma umum –
konkret, maka limitatifnya tindak pidana yang diatur dalam norma tersebut
sekaligus juga berarti bahwa tindak pidana selain yang diatur merupakan tindak
pidana yang tidak menjadi syarat bakal calon legislatif. Atau sederhananya,
norma ini sebenarnya memperbolehkan mantan napi untuk menjadi caleg, asalkan
bukan mantan napi narkoba, kejahatan seksual anak dan korupsi. Mantan napi
pembunuh, pemerkosa, pelaku kebakaran lahan, pengguna narkoba (bukan bandar),
serta pelaku kejahatan seksual tapi korbannya bukan anak tentu saja masih
diperbolehkan menjadi bakal calon legislatif berdasarkan ketentuan ini.
Oleh
karena itu, seandainya kita sedikit lebih kritis, kita tentu saja bisa
menyatakan dengan mudah bahwa Pasal 7 ayat (1) huruf h PKPU 20/2018 adalah
norma yang senyatanya mengizinkan para mantan napi untuk menjadi bakal calon legislatif,
kecuali mantan narapidana tiga tindak pidana tersebut.
Lalu
apakah norma ini masih pantas disebut sebagai norma yang melindungi masyarakat
karena telah menjadi filter untuk kualitas calon legislatif? Saya pikir, norma
ini justru hanya sebagai gimmick setengah hati. Seandainya ketentuan ini betul
didasarkan pada rasio legis yang dapat membenarkan pelarangan mantan napi untuk
menjadi calon legislatif, lalu mengapa hanya dibatasi pada tiga tindak pidana? Kenapa
tidak sekalian saja norma itu melarang untuk semua tindak pidana?
Karena
konsekuensi dari pembatasan tindak pidana yang diatur dalam norma tersebut
adalah munculnya diskriminasi antara mantan napi yang satu dengan mantan napi
yang lainnya. Sedangkan faktanya, tidak ada satupun indikator moral yang dapat
menentukan bahwa kadar moralitas mantan napi korupsi lebih rendah daripada
mantan napi perdagangan orang (human
trafficking) sehingga mantan napi koruptor dilarang untuk menjadi bakal
calon legislatif sedangkan mantan napi human
trafficking justru diperbolehkan.
Kita
tentu saja tidak bisa menjadi hakim terhadap moralitas para mantan napi. Karena
bahkan moralitas kita sendiri belum tentu lebih baik dari para mantan napi
tersebut.
**************
Biarkanlah
para mantan napi itu menjadi bakal calon legislatif, karena itu hak politik
mereka. Sepanjang tidak dicabut oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap (in kracht van gewijsde). Kalau
memang masyarakat tidak sepakat dengan pencalonan mantan napi, masyarakat cukup
tidak memilih mereka.
Dan
negara tidak harus hadir dengan gimmick penjaga moral untuk membunuh hak
politik warga negara.
[1]
Iqrak Sulhin, Filsafat Sistem
Pemasyarakatan, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 7 No.I Mei 2010. Hal.
139.
[2]
Tujuan Lembaga Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
[3]
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan 2; Proses dan Teknik
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007, Halaman 108.
[4]
Norma hukum seperti ini disebut juga norma hukum umum-konkret. Lihat Maria
Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan; Dasar-Dasar Dan Pembentukannya,
Kanisius, Yogyakarta, 1998, Halaman 13.
Coin Casino | Review and Welcome Bonus | Bonus Now
ReplyDeleteCoin Casino 인카지노 has developed a sophisticated game 제왕카지노 for the online casino players. They will give you a deccasino great game for your needs. Check out their website.
Harrah's Philadelphia Casino Resort - JCM Hub
ReplyDeleteHarrah's Philadelphia Casino Resort locations, 강원도 출장안마 rates, amenities: expert Philadelphia research, only 대구광역 출장안마 at Hotel 목포 출장마사지 and Travel 김천 출장마사지 Index. Hotel features Rating: 4.5 · 5 reviews 광주광역 출장안마