Yang Bisa Kita Harapkan Dari Kampanye
Entah dengan kalian, namun mungkin saya termasuk orang yang sudah jengah melihat bagaimana politik dipraktekkan oleh politikus saat ini. Namun, kejengahan saya pun tidak serta merta membuat saya menjadi a politis, sebagaimana pandangan orang-orang cerdas yang memilih apatis setelah melihat politik sebagai realitas yang menimbulkan disonansi kognitif pada dirinya. Saya mungkin tidak secerdas mereka yang memilih skeptis karena menganggap bahwa politik masih merupakan sebuah jalan perjuangan yang bisa ditempuh dengan harapan-harapan yang baik.
Saya
cukup bosan melihat dagelan mereka. Model kampanye mereka, atau tingkah mereka
yang memposisikan diri seolah-olah tuan. Belum lagi tingkah para wakil rakyat
yang suka bolos dan tidur namun tertawa terbahak-bahak seolah itu bukan dosa
dihadapan anak STM yang menjadikannya bahan stand up comedy.
Beberapa
hari yang lalu, saya berdiskusi singkat dengan kawan di sosial media. Bukan berdiskusi
sebenarnya, lebih tepat kalau disebut sebagai berbalas komen pada sebuah postingan
yang dia share dan kebetulan beredar di lini masaku. Ada satu ungkapan dari dia
yang memantik nalar, “masih mau pilih mereka?”. Postingan itu jelas adalah
berita tentang wakil rakyat dalam sebuah sidang komisi dengan kementerian namun
hanya dihadiri kira-kira 1/5 dari jumlah anggota komisi tersebut.
Kalimat
itu sederhana, namun seperti menghentak sadar. Ya, kita seolah kehabisan sosok
untuk duduk di parlemen. Rakyat berharap ada sesuatu yang lebih baik namun
hasil dari setiap pemilu itu-itu saja. Begitu-begitu saja, mungkin sampai kartu
ATM betul-betul bisa digoreng seperti tempe. Seperti ada sebuah kondisi
determinis bahwa setiap mereka yang akhirnya duduk sebagai wakil rakyat di
parlemen, sikapnya tidak berbeda dengan mereka yang kemarin. Sebaik apapun
mereka, pasti berubah. Seperti pacar yang tiba-tiba ngambek dan minta putus.
**************
Komentar
yang menghentak nalar itu pun akhirnya membuat saya kembali membuka definisi
kampanye dalam UU 7/2017. Berhubung juga karena akhir-akhir ini lagi marak
perdebatan tagar yang saling melempar tuduhan tentang kampanye. Nah, di sini
ada hal menarik yang mungkin sebagian besar dari kita luput tentang hal ini.
Pasal
1 angka 35 UU 7/2017, berbunyi :
“Kampanye
Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh
Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program
dan/atau citra diri Peserta Pemilu.”
Pasal
267 ayat (1) UU 7/2017, berbunyi :
“Kampanye
Pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan
secara bertanggung jawab.”
Orang-orang
hari ini hanya terfokus pada definisi kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 1
angka 35 tersebut. Mereka tidak sadar bahwa ketika kedua pasal tersebut
dipersandingkan, pemaknaan kampanye tentu saja tidak sebatas mengajak orang
untuk memilih seorang calon dengan menawarkan slogan, tagline atau pas foto
ijazah yang dicetak menjadi baliho berukuran raksasa. Lebih daripada itu,
Kampanye seharusnya menjadi pendidikan politik bagi masyarakat.
Dua
norma di atas tidak seharusnya ditafsir terpisah, melainkan harus ditafsir
sebagai satu kesatuan konsep tentang bagaimana seharusnya kampanye politik
dilakukan.
Pendidikan
politik adalah tentang bagaimana menumbuhkan kesadaran politik masyarakat bahwa
politik bukan sekedar seperangkat diskursus membosankan tentang bagaimana
menjadi timses pasangan calon, namun politik adalah puncak kesadaran untuk
melayani masyarakat. Politik harus memanusiakan manusia.
Dalam
pendidikan politik seharusnya ditunjukkan dan diajarkan bagaimana berpolitik
dengan nilai dan etika serta kesantunan. Bahwa isu sara, pelecahan nalar serta
fitnah hoax dan berbagai macam diksi tentang ujaran kebencian adalah hal-hal
yang senyatanya merusak tujuan dari kampanye sebagai pendidikan politik. Kita tentu
saja tidak mendapatkan apapun dari model kampanye seperti itu. Jangan kesejahteraan
material, etika dan nilai kemanusiaan yang tidak membutuhkan uang pun untuk
diajarkan kita tidak dapatkan dengan model kampanye yang selalu berangkat dari
bagaimana menelanjangi aib lawan politiknya.
**************
Pemilu
serentak tahun 2019 nanti tentu saja akan sangat berbeda dengan pemilu-pemilu
sebelumnya. Selain karena pemilihan legislatif dilaksanakan bersamaan dengan
pemilihan presiden dan wakil presiden, pembeda yang utama adalah konteks
kesadaran masyarakat akan informasi dan diskursus politik hari ini.
Masyarakat
hari ini tidak lagi terpengaruh dengan seberapa putih wajahmu dalam flyer-flyer
elektronik yang tersebar di sosial media, atau seberapa heroik posemu kala foto
setengah badanmu terpampang norak di lini masa. Namun masyarakat butuh sesuatu
yang baru sebagai sintesa dari cara berfikirnya yang merupakan antitesa dari
tesa realitas politik yang ada saat ini.
Pendidikan
politik sejatinya adalah filter. Bagi para calon yang berkampanye, membuat
design kampanye yang mengandung unsur pendidikan politik bagi masyarakat adalah
hal yang kemudian akan mengukur seberapa kredibel calon tersebut untuk
mengemban amanah rakyat. Begtiupun dengan masyarakat, ketika mereka terdidik
secara politik, peluang akan lahirnya kesadaran untuk memilih calon berdasarkan
konsep dan bukan berdasarkan harta kekayaan akan semakin lebih besar. Masyarakat
pun akan semakin sadar bahwa politik adalah kebutuhan kesejahteraan sistemik,
bukan solusi personal bagi daput setiap orang.
Saya
tentu saja sangat berharap hal ini diperhatikan oleh para calon. Bahwa para
calon yang akan berkontestasi di tahun 2019 bisa menawarkan model-model
kampanye yang mendidik. Bukan sekedar slogan atau tagline yang tiba-tiba muncul
seperti jerawat di wajah yang berminyak.
Comments
Post a Comment