SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL: Pengertian dan Perbedaannya dengan Sistem Pemerintahan Parlementer
Pengertian Sistem Presidensial
Ciri utama sebuah Negara dengan sistem pemerintahan Presidensial seperti Indonesia adalah dimana Presiden memiliki dua wajah, yaitu sebagai Kepala Negara dan juga sebagai Kepala pemerintahan. Sistem Pemerintahan Presidensial adalah sistem pemerintahan dimana Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara berada di tangan Presiden. Ini berbeda dengan Sistem Pemerintahan Parlementer, dimana Kepala Pemerintahan berada ditangan Perdana Menteri.
Mungkin terlebih dahulu kita perlu membahas perbedaan antara Bentuk Negara, Bentuk Pemerintahan dan Sistem Pemerintahan. Bentuk Negara adalah diskursus mengenai pola ikatan dasar dari setiap elemen paling dasar yang membentuk sebuah Negara. Dalam pengertian ini, bentuk Negara-negara di dunia dapat dibagi dalam 3 (tiga) bentuk yaitu :
Negara Kesatuan, adalah Negara yang pola dasar pembentukannya langsung berasal dari ikatan-ikatan antara rakyat dalam identitas individunya. Dalam Bentuk Negara kesatuan, rakyat menjadi unsur pembentuk langsung tanpa ada perantara antara rakyat dengan Negara. Negara diposisikan sebagai entitas langsung yang lahir dari bagaimana rakyat mempersepsikan kehidupan bersama. Artinya, Negara adalah persepsi pertama yang lahir dari rakyat tentang system kehidupan bersama.
Negara Federal, adalah Negara yang pola dasar pembentukannya tidak langsung dari rakyat sebagaimana dalam bentuk Negara kesatuan. Akan tetapi, Negara federal adalah bentuk Negara yang lahir sebagai konsekuensi dari kebutuhan eksistensial organisasi-organisasi kehidupan bersama yang dibentuk oleh setiap individu sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa unsur pembentuk Negara federal adalah entitas-entitas atau kelompok-kelompok masyarakat kecil. Artinya, pada Negara federal, Rakyat tidak diposisikan sebagai unsur pembentuk langsung, tetapi rakyat membentuk organisasi kehidupan bersama dalam skala kecil, dan organisasi-organisasi ini kemudian membentuk sebuah organisasi besar yang disebut Negara tanpa kehilangan identitasnya. Sudah ada persepsi pertama yang lahir dari rakyat tentang kehidupan bersama sebelum terbentuknya Negara federal. Maka dari itu, dalam bentuk Negara federal, persepsi-persepsi yang berwujud organisasi-organisasi pembentuk Negara tersebut tidak kehilangan identitasnya dan tetap memiliki kewenangannya. Organisasi-organisasi kecil inilah yang disebut koloni atau Negara bagian dalam bentuk Negara federal saat ini.
Negara Konfederasi, adalah bentuk perkembangan selanjutnya dari bentuk Negara Federal. Negara ini dibentuk sebagai perserikatan antara Negara-negara atau gabungan beberapa Negara untuk membuat sebuah system kehidupan bersama yang lebih besar lagi. Unsur pembentuknya bukan lagi koloni atau kelompok-kelompok masyarakat akan tetapi Negara dalam pengertiannya yang harafiah. Dapat dikatakan bahwa Negara Konfederasi adalah Negara yang berbentuk Negara. Dalam hukum internasional, Negara konfederasi tidak diakui sebagai Negara berdaulat, karena Negara-negara yang membentuknya telah memiliki kedudukan internasional sebagai Negara berdaulat sebelumnya.
Bentuk Pemerintahan adalah diskursus tentang unsur dasar kekuasaan dalam sebuah Negara. Dalam diskursus ini, Negara berdasarkan Bentuk pemerintahannya dapat terbagi menjadi 2 (dua), yaitu Bentuk Pemerintahan Republik dan Bentuk Pemerintahan Monarki. Jika kekuasaan tertinggi suatu masyarakat berada di tangan seseorang maka Bentuk Pemerintahannya disebut Monarki dan jika kekuasaan itu berada di tangan beberapa individu maka bentuk pemerintahannya disebut Republik[1].
Republik, adalah bentuk pemerintahan yang unsur dasar kekuasaannya berasal dari rakyat. Dalam Negara Republik, Rakyat adalah pemilik kewenangan dan kekuasaan yang kemudian memberikan kewenangannya tersebut kepada Negara untuk menjalankan system pemerintahan demi terwujudnya tujuan dan cita-cita pembentukan Negara.
Kelsen membagi Bentuk Pemerintahan Republik menjadi dua yaitu Republik Demokrasi dan Republik Aristokrasi. Tergantung dimana kekuasaan tersebut berada, apabila kekuasaan tersebut beada pada sekelompok kecil rakyat maka disebut Republik Aristokrasi dan apabila berada pada sebagia besar rakyat disebut Republik Demokrasi[2].
Sedangkan Monarki, adalah bentuk pemerintahan yang unsur dasar kekuasaannya berasal dari Raja. Nama lain dari Monarki adalah Kerajaan. Ada banyak pendapat mengenai asal-usul kekuasaan raja, namun dalam perjalanan sejarahnya, Raja adalah bagian yang tidak terpisahkan dari budaya serta kepercayaan masyarakat. Raja mendapatkan kekuasaannya ditengah masyarakat, karena Raja dianggap menduduki posisi yang sakral dalam kebudayaan dan kepercayaan sebuah system masyarakat.
Pada zaman dahulu, mungkin dapat dikatakan bahwa semua Negara Bentuk pemerintahannya adalah Monarki. Sejarah mencatat bahwa Muhammad adalah manusia pertama di dunia ini yang menerapkan system pemerintahan Republik di Madinah pada abad ke 6 Masehi dengan menjadikan Piagam Madinah sebagai Konstitusi kenegaraan serta mulai memberlakukan system Gubernur sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat di Daerah-daerah.
Revolusi pemikiran di Eropa dan jaman Rennaisance telah menjadi momentum yang memutarbalikkan filsafat dominan masyarakat eropa, bahkan sebagian besar masyarakat dunia. Dalam konsep kenegaraan, sebagian besar masyarakat mulai melirik pada model republik yang merupakan Bentuk Pemerintahan selain daripada Monarki. Akibat ini juga membuat beberapa Negara Monarki yang tidak ingin melakukan perubahan secara substansial harus melakukan modifikasi konsep Bentuk pemerintahannya dari Monarki Absolut menjadi Monarki Konstitusional. Saat ini, tinggal Arab Saudi satu-satunya Negara di dunia ini yang masih berdiri dengan Bentuk Pemerintahan Monarki Absolut, yang menempatkan titah raja sebagai hukum tertinggi.
Sistem Pemerintahan adalah kajian tentang pola dasar yang digunakan oleh Negara dalam menjalankan pemerintahannya. Dalam kajian tentang Sistem Pemerintahan, ada dua sistem pemerintahan yang kita kenal digunakan oleh Negara-negara di dunia, yaitu Sistem Presidensial dan Sistem Parlementer.
Sebelumnya, kita mungkin perlu membedakan antara terminologi Presiden sebagai jabatan dengan terminologi Presiensial sebagai sistem. Presiden adalah nama jabatan bagi kepala Negara pada negara dengan bentuk pemerintahan republik sebagai pembeda dengan Raja sebagai kepala negara pada negara dengan bentuk pemerintahan Monarki/Kerajaan. Sedangkan terminologi Presidensial adalah penamaan sebuah sistem pemerintahan, yang dimana antara kepala negara dengan kepala pemerintahan dipegang pada satu jabatan. Artinya, tidak semua negara yang bentuk pemerintahannya Republik dengan kepala negara seorang Presiden, otomatis sistem pemerintahannya Presidensial. Dalam beberapa kasus, misalnya pada Negara Singapura, bentuk negaranya adalah Republik dimana kepala negaranya adalah seorang Presiden, sedangkan sistem pemerintahannya adalah parlementer. Terminologi Presiden tidak identik dengan sistem Presidensial, begitupun sistem parlementer tidak identik dengan bentuk pemerintahan Monarki.
Sistem Presidensial disebut juga sistem kongresional[3] adalah sistem pemerintahan dimana antara Eksekutif dan Legislatif dalam sebuah Negara dipilih melalui pemilihan umum yang terpisah. Sedangkan Sistem Parlementer adalah sistem pemerintahan yang antara Legislatif dan Eksekutif tidak dipilih melalui pemilihan umum yang terpisah, melainkan pemilihan umum hanya diselenggarakan untuk memilih legislatif yang kemudian akan memilih Eksekutif. Menurut Thomas 0. Sargentich, variabel pembeda antara sistem pemerintahan Presidensial dengan sistem pemerintahan Parlementer terletak pada metodologi yang digunakan oleh sebuah Negara dalam memilih dan memberhentikan kepala pemerintahan (eksekutif)[4].
Konsekuensi keterpisahan pemilihan umum dalam sistem Presidensial dan Parlementer kemudian menyebabkan adanya pola pertanggungjawaban eksekutif yang berbeda diantara kedua sistem tersebut. Dalam sistem Parlementer, Eksekutif bertanggungjawab kepada Legislatif, sehingga Legislatif memiliki kewenangan untuk memberhentikan Eksekutif secara langsung. Sedangkan dalam sistem Presidensial, ada keterpisahan yang jelas dimana Eksekutif tidak bertanggungjawab langsung kepada Legislatif, dan Legislatif tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan dan/atau memberhentikan Eksekutif.
Dalam beberapa kondisi tertentu – tentu saja kita tidak sedang berbicara tentang kondisi normal pemerintahan – konteks penjatuhan eksekutif oleh legislatif dalam sistem pemerintahan presidensial memang pernah terjadi. Contoh pada sistem presidensial di Amerika Serikat, dimana Parlemen (House of Representative) pernah meng-impeach dua Presiden, yaitu Andrew Johnson pada 24 February 1968 dan Bill Clinton pada tanggal 19 Desember 1998. Namun hal ini, tentu saja bukan pada kondisi normal pemerintahan dalam sistem presidensial. Namun, lebih kepada pilihan mekanisme penyelesaian persoalan darurat dalam sebuah Negara.
Dalam sejarah perkembangan sistem pemerintahan Negara, sistem presidensial adalah sistem pemerintahan yang berkembang seiring dengan arah ideal konsep trias politica dimana pola pembagian 3 (tiga) cabang kekuasaan utama – eksekutif, legislatif dan yudisial – berjalan pada model Separation of Power. Sedangkan disisi lain, perkembangan model sistem pemerintahan Parlementer adalah lahir sebagai bentuk modifikasi sistem pemerintahan dimana pola pembagian kekuasaannya lebih kearahDistribution Of Power.
Ciri-ciri Sistem Presidensial dan Perbedaannya dengan Sistem Parlementer
Perbedaan antara Sistem Presidensial dan Sistem Parlementer secara garis besar mungkin dapat kita lihat dalam tabel[5] berikut :
Parliamentary
|
Distinctions
|
Presidential
|
Prime Minister as Head of Government |
Leadership
| President as Head of State and Government |
Fusion between executive and legislative branches |
Separation Of Powers
| Executive have different branch with legislative |
Vote of No-Confidence or Party Vote |
Removal from Office
| Impeachment |
Dari sini kita bisa melihat bahwa perbedaan paling mendasar dari sistem Presidensial dengan sistem Parlementer terletak pada model kepemimpinan, pola pembagian kekuasaan dan sistem penjatuhan kepala pemerintahan.
Pada pola kepemimpinan, jabatan sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan dalam sistem presidensial berada pada tangan presiden. Artinya, dalam sistem Presidensial, Presiden adalah jabatan kepala Negara yang juga merangkap sebagai kepala pemerintahan. Sedangkan dalam sistem Parlementer, kepala Negara adalah jabatan yang berbeda dengan terpisah dengan kepala pemerintahan.
Keterpisahan posisi kepala Negara dengan kepala pemerintahan dalam sistem parlementer adalah konsekuensi logis dari penyatuan dua cabang kekuasaan, yaitu eksekutif dan legislatif pada sistem pemerintahannya. Hal ini mengartikan bahwa dalam sistem pemerintahan Parlementer, kepala Negara adalah representasi dari parlemen. Ini kemudian menempatkan posisi kepala pemerintahan sebagai perpanjangan tangan parlemen dalam pemerintahan.
Kita bisa melihat hal ini dengan jelas pada Negara dengan bentuk pemerintahan Monarki dan sistem pemerintahan parlementer seperti Inggris. Dimana kepala Negara adalah Raja, sedangkan kepala pemerintahan ada di tangan Perdana Menteri. Sedangkan pada Negara dengan bentuk pemerintahan Republik dan Sistem Pemerintahan Parelementer seperti Singapura, Kepala Negara berada di datangan seorang Presiden, sedangkan Kepala Pemerintahan berada di tangan seorang Perdana Menteri.
Menurut Rod Hague, Sistem Pemerintahan Presidensial terdiri dari 3 (tiga) unsur[6] yaitu :
- Presiden dipilih oleh rakyat dan memimpin pemerintahan serta mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait;
- Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif) memiliki masa jabatan yang tetap dan tidak bisa saling menjatuhkan;
- Tidak ada status yang tumpang tindih antara eksekutif dan legislatif;
Dari sini kita bisa melihat bahwa Separation Of Power adalah prinsip utama dalam sistem pemerintahan Presidensial dan ini dapat juga dikatakan sebagai pembeda utama yang membedakannya dengan sistem Parlementer.
Posisi Presiden sebagai sentrum pemerintahan dalam sistem Presidensial memang memiliki konsekuensi yang sangat besar dengan besarnya kewenangan Presiden serta mandirinya kewenangan tersebut dari himpitan kewenangan legislatif. Dalam sistem pemerintahan Presidensial, Presiden sebagai kepala pemerintahan tidak bertanggungjawab kepada Legislatif, melainkan langsung secara moral kepada rakyat[7]. Konsekuensi politik berupa peluang terpilih kembali dalam pemilihan umum selanjutnya sepertinya satu-satunya harapan bagi rakyat untuk mendapatkan jaminan pelaksanaan pemerintahan yang baik oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dalam sebuah negara.
Memang merupakan sebuah dilema, bahwa mandirinya kewenangan Presiden dari Legislatif dalam sistem Presidensial akan membuat peluang munculnya abuse of power semakin besar. Mungkin pertimbangan stabilitas politik dan pemerintahan menjadi alasan dibalik kemandirian kewenangan ini. Karena, disatu sisi bahwa mudahnya sebuah pemerintahan (eksekutif) untuk diberhentikan oleh parlemen hanya dengan mengeluarkan mosi tidak percaya membuat sistem pemerintahan Parlementer semakin menjauh dari pemaknaan stabilitas pemerintahan dalam sebuah negara.
Hal ini membuat beberapa negara mencoba menerapkan sebuah sistem kombinasi yang mengkombinasikan antara Sistem Presidensial dan Sistem Parlementer. Hasil kombinasi diantara keduanya dikenal dengan sistem Semi Presidensial, seperti pada Sistem Pemerintahan yang diterapkan Perancis saat ini.
Dalam Sistem Pemerintahan Semi Presidensial, Presiden hanya berposisi sebagai Kepala Negara sedangkan Kepala Pemerintahan berada di tangan Perdana Menteri seperti Sistem Parlementer. Namun, kewenangan Presiden sebagai kepala negara sama dengan kewenangan Presiden dalam Sistem Presidensial, hal ini berbeda dengan posisi Presiden sebagai kepala negara dalam Sistem Parlementer dimana kepala negara hanya berposisi sebagai simbol seremonial. Presiden melaksanakan kekuasaan bersama-sama dengan Perdana Menteri.
Konsekuensi dari penerapan Sistem Semi Presidensial ini adalah adanya dua eksekutif dalam satu sistem pemerintahan. Tentu saja, peluang terjadinya benturan kewenangan antara eksekutif dan legislatif semakin besar.
Referensi :
– Hans Kelsen, The General Theory of Law and State, New York : Russeland Russel, 1971
– Thomas 0. Sargentich, The Presidential And Parliamentary Models Of National Government
– Mari-Len R. Macasaquit, Economic Issue Of The Day; Forming A Government : Parliamentary vs Presidential System, Philippine Institute For Development Studies Vol. VI No. 2, 2006
– Rod Hague, Comparative Government And Politics: An Introduction, 2004, Palgrave Mcmillan
[1] Hans Kelsen, The General Theory of Law and State, New York : Russeland Russel, 1971, Hlm. 401.
[2] ibid.
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_presidensial, diakses tanggal 16 November 2013, 10.13 wib;
[4] Thomas 0. Sargentich, The Presidential And Parliamentary Models Of National Government, Hal. 579
[5] Mari-Len R. Macasaquit, Economic Issue Of The Day; Forming A Government : Parliamentary vs Presidential System, Philippine Institute For Development Studies Vol. VI No. 2, 2006. Hal. 2
[6] Rod Hague, Comparative Government And Politics: An Introduction, 2004, Palgrave Mcmillan
[7] Pertanggungjawaban moralitas yang dimaksudkan disini adalah sebuah istilah pertanggungjawaban selain dari pertanggungjawaban yuridis. Faktanya, pada negara-negara yang menganut sistem pemerintahan Presidensial, belum ada mekanisme pertanggungjawaban yuridis serta konsekuensi hukum yang dapat diberikan apabila seorang Presiden sebagai kepala pemerintahan dianggap gagal melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Implikasi yang saat ini terjadi hanyalah konsekuensi politik yaitu jatuhnya citra yang akan berpengaruh pada pemilihan umum selanjutnya.
Comments
Post a Comment