Das Sollen vs Das Sein

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar atau bahkan pernah mengalami apa yang disebut dengan hukum. Pengalaman seseorang tentang hukum dalam kehidupan sehari-hari berbeda antara orang yang satu dengan yang lainnya. Respon atau tanggapan yang kemudian ia keluarkan tenatang hukum juga sangat berbeda. Tergantung bagaimana situasi serta kondisi pada saat dia berhadapan hukum. Dalam pembahasan ini saya mencoba mengambil tiga model pendapat yang paling sering kita temui tentang hukum diantara sekian bayak pendapat dan tanggapan. Pendapat ini bukanlah merupakan sebuah bentuk baku. Dalam arti tidaklah yang saya paparkan merupakan bentuk kalimat yang langsung terucap dari mulut sesorang. Akan tetapi berupa gambaran umum yang kemudian tersirat dalam setiap pendapat. Gambaran umum ini kemudian termanifestasikan dalam berbagai model kalimat. Dan gambaran umum ini merupakan maksud yang menjadi perwakilan paradigma mereka tentang hukum.

Ada kemudian yang menjadikan hukum sebagai salah satu kebutuhan dalam hidupnya. Ada yang kemudian kehidupannya sangat bergantung dengan hukum. Bahkan, ada pula sekelompok orang yang trauma terhadap hukum, dan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak berurusan dengan hukum.

Pandangan yang pertama biasanya kita temui pada golongan masyarakat yang orientasi hidupnya pada bidang perniagaan. Hukum dalam hal ini dipandang sebagai salah satu alat yang dapat menjadi pelindung terhadap usahaya. Segala bentuk usaha yang dia lakukan haruslah memiliki ikatan hukum yang jelas. Hal ini merupakan sebuah fenomena yang wajar menurut kelompok ini. Interaksi yang dibangun dengan individu yang lain pun tidak lebih dari negosiasi dan tawar-menawar. Model interaksi dengan paradigma seperti inilah yang kemudian menempatkan hukum sebagai alat pelegitimasi interaksi. Kepercayaan dengan individu lain mustahil akan muncul dalam model interaksi seperti ini apabila tidak ada ikatan hukum yang jelas.

Pada kelompok masyarakat ini kita dapati bahwa hukum tidak dijadikan sebagai satu-satunya sandaran hidup. Bukan berarti ketika dikatakan bahwa setiap interaksi dalam setiap usahanya haruslah ada hukum sebagai pelegitimasi maka dia pun akan menjadikan hukum sebagai sandaran hidupnya. Akan tetapi hukum dijadikan sebagai alat pelengkap. Tujuan utamanya bukan menyandarkan hidupnya pada hukum akan tetapi bagaimana hukum itu digunakan untuk mencapai tujuan- tujuan usahanya. Dalam pandangan kelompok ini, panggunaan hukum bersifat relatif. Sangat bergantung pada untung tidaknya apabila ia berurusan dengan hukum. Karena hukum bukanlah tujuan utama dan sandaran kehidupannya.

Pandangan kedua adalah pandangan yang menjadikan hukum sebagai sandaran kehidupannya. Pandangan ini biasa atau bahakan sangat banyak kita temukan pada kelompok orang yang berprofesi sebagai penegak hukum. Sangat banyak yang saya katakan bukanlah sebuah penghukuman terhadap keseluruhan. Dalam arti bahwa ada juga orang- orang yang berprofesi sebagai penegak hukum yang tidak berpandangan seperti ini. Akan tetapi kita sangat sulit menemukannya. Sangat sedikit dan pastilah merupakan kelompok yang teralienasi dalam profesinya. Saya berani memastikan hal ini karena realitasnya seperti itu. Tapi, untuk pembahasan ini akan dibahas pada bab yang lain dalam buku ini. Yang kita fokuskan pada pembahasan kali ini hanyalah sebatas paradigma orang yang menjadikan hukum sebagai sandaran hidupnya saja.

Dalam pandangan ini, hukum dijadikan sebagai sandaran hidup. Dalam arti bahwa hukum dilihat sebagai faktor utama penentu kehidupan. Dari hukum-lah kemudian ia bisa mendapatkan kebutuhannya akan hidup. Baik itu berupa kebutuhan pokok sampai pada kebutuhan tersiernya. Mereka adalah orang yang kemudian menafsirkan bahasa hukum sesuai dengan kebutuhannya. Keadilan-pun yang merupakan asas utama lahirnya hukum dapat ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan mereka. Sangat tergantung apakah ia kemudian mendapatkan kebutuhannya dari keadilan itu atau tidak. Kalau ia mendapatkannya ia akan memperjuangkannya, dan kalau tidak maka sebaliknya. Hukum dalam pandangan ini sangat bergantung dari subjektifitas pelaku. Apakah pelaku melihat hukum itu dapat memberikannya kehidupan atau tidak. Dalam pandangan ini pula, hukum menjadi tidak independen. Karena hukum harus ikut pada penafsiran kebutuhan sang pelaku.

Pandangan ketiga adalah pandangan trauma terhadap hukum. Kita akan banyak menemui pandangan yang seperti ini pada masyarakat kelas bawah. Masyarakat grass root, atau masyarakat mayoritas yang kemudian harus berada pada struktur paling bawah karena adanya dominasi dari kelompok minoritas. Masyarakat dalam posisi ini berpandangan bahwa hukum itu merupakan sebua mimpi buruk dikarenakan persengketaan yang meilbatkan dia dengan hukum harus mempertemukannya dengan orang dari kelompok pertama dan kedua. Karena dia tidak memiliki sesuatu yang bisa dijadikan alat tukar dalam proses tawar menawar yang diciptakan oleh orang dari kedua pandangan tersebut, maka ia pun harus menerima kenyataan sebagai pihak yang salah. Yang harus diambil miliknya, yang harus membayar ganti rugi, denda dan bahkan pidana kurungan. Sangat tragis memang mengingat bahwa kelompok inilah yang harus menanggung semua itu. Sedangkan mereka adalah pihak yang secara ekonomi termarjinalkan.

Ketiga pandangan di atas bukanlah perwakilan dari keseluruhan pandangan tentang hukum. Akan tetapi saya mengambil ketiga bentuk pandangan diatas hanya sebagai pengantar pembahasan ini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa hal yang seperti ini merupakan hal yang paling sering kita dapati ketika kita mencoba membuka mata terhadap realitas hukum hari ini. Bukan berarti bahwa saya tidak mengambil pendapat para ahli, akan tetapi pendapat para ahli akan digunakan dalam bab lain untuk mencoba mencari mengapa hal ini bisa terjadi.

Pandangan kedua dalam penjelasan diatas memang sangat dekat dengan pandangan yang pertama. Karena sebagian besar orang dari kedua pandangan ini saling bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan mereka masing- masing. Jika ada sebuah persengketaan yang terjadi pada orang dari kelompok yang pertama, ia cenderung untuk meminta bantuan pada penegak hukum dari kelompok yang kedua. Prosesnya pun lebih banyak berupa negosiasi dan tawar-menawar. Hal ini bukanlah sebuah hal yang kita harus perdebatkan apakah hal ini pantas menjadi salah satu fenomena dunia hukum atau tidak. Sangat bergantung pada bagaimana kita mempersepsikan hukum. Untuk membahas fenomena ini yang harus kita lakukan adalah mencari akar masalah mengapa hal ini harus terjadi, bukan membicarakan apakah itu merupkan sebuah hal yang pantas atau tidak. Karena, kita pasti mengetahui bahwa dalam sebuah diskursus tentang keadilan kita tidak mungkin akan mengatakan bahwa keadilan merupakan sebuah hal yang bisa diperoleh melalui sebuah proses negosiasi dan tawar menawar. Setiap orang bahkan mengatakan akan menjadi orang yang membela keadilan yang menmpatkan hak orang pada tempatnya masing- masing. Karena keadilan merupakan ranah das sollen. Ranah yang ideal, dan idealnya keadilan adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya.

Akan tetapi kita belum tentu menemukan hal itu pada ranah das sein. Karena pada ranah praktis hukum bukanlah sesuatu yang independen lagi. Ketika hukum mulai memasuki ranah praktis ia harus berbenturan dengan ranah lain dalam kehidupan social. Entah itu ekonomi atau politik, sangat bergantung pada bagaimana hukum itu kemudian diterapkan, pada kondisi yang seperti apa, dan siapa yang menerapkannya. Oleh karena itu pandangan ahli sosiologi hukum menyatakan bahwa dalam penerapannya hukum tidak independen. Dia haruslah berinteraksi dengan diskursus lain yang juga hidup dan tumbuh dalam kehidupan sosial.

Berdasarkan pemaparan tadi maka, mestilah timbul pertanyaan apakah memang antara das sein dan das sollen dalam hukum merupakan dua hal yang terpisah? Ataukah ia sebagai satu kesatuan? Apa faktor utama penyebab munculnya masalah ini? Apakah hukum bersifat independen hanya dalam das sollen saja? Ataukah tidak? Kalau ada yang berpandangan ya, apakah kemudian konsekuensi yang ditimbulaknnya ? dan apakah konsekuensi dari yang tidak? Apakah makna keadilan? Apakah keadilan merupakan sebuah hal yang riil ataukah tidak lebih dari sebuah persepsi yang utopis? Bedakah anatara keadilan dalam persepsi das sollen dan das sein?

Pertanyaan diatas merupakan pertanyaan dasar dia antara berbagai macam pertanyaan dasar yang lain yang seharusnya dibahas dalam diskursus awal tentang hukum. Kita akan terjebak dalam persepktif yang menggiring kita dalam sekularisme yang kemudian memisahkan antara kajian das sollen dan das sein dalam hukum apabila kita tidak pernah mengkaji hukum secara filosofis. Dan kalau ini tidak terjadi yang kita temukan adalah bahwa kita harus mengikuti pertarungan abadi antara dua kelompok yang mengkaji hukum secara normatif dan sosiologis. Ataukah menurut pandangan terbaru bahwa ternyata filsafat hukum pun merupakan sebuah diskursus yang terpisah dengan diskursus normatif dan sosiologis.

Comments

Popular posts from this blog

PRO KONTRA MANTAN TERPIDANA JADI CALEG

Kesalahan Berfikir Ilmiah (Bagian 3) : Fallacy of Misplaced Concreteness

Kesalahan Berfikir (Bagian 2) : Fallacy of Retrospective Determinism