Kesalahan Berfikir Ilmiah (Bagian 1) : Fallacy of Dramatic Instance

Fallacy of Dramatic Instance atau dalam bahasa lain lebih dikenal dengan instilah over generalisationadalah kesalahan berfikir ilmiah dimana kesimpulan yang diambil adalah hasil penggeneralisasian dari ciri-ciri partikulir objek. Namun, validitas fakta bahwa semua objek akan berlaku itu belum dapat dibuktikan secara nyata.
Kesalahan berfikir ini paling banyak terjadi pada metode penarikan kesimpulan induktif. Contohnya seperti ini :
Kita ingin meneliti apakah tukang becak di kota Makassar suka makan cokelat atau tidak. Anggaplah jumlah tukang becak di kota Makassar adalah 100 orang. Lalu kita mengadakan penelitian dengan mengambil sampel partikulir untuk mewawancarai 10 dari 100 tukang becak. Artinya sampel yang kita ambil dalam penelitian ini adalah 10% dari keseluruhan jumlah tukang becak. Dari 10 orang tukang becak kita mendapatkan 5 orang yang suka makan cokelat, 3 orang menyatakan tidak suka dan 2 orang menyatakan tidak memilih apapun. Berarti kita mendapatkan bahwa 50% dari sampel menyatakan bahwa suka makan cokelat. Karena dari hasil penelitian kita mendapatkan bahwa mayoritas dari sampel menyatakan suka maka kita membuat sebuah kesimpulan general bahwa mayoritas tukang becak di Makassar suka makan cokelat.
Cara berfikir seperti inilah yang disebut sebagai kesalahan berfikir ilmiah karena kesimpulan yang diambil merupakan sebuah generalisasi objek yang belum memiliki kepastian bahwa hal tersebut adalah prinsip umum yang berlaku pada setiap objek. Dalam kasus diatas, kita melihat bahwa yang dijadikan objek penelitian adalah persoalan yang sangat subjektif yaitu “rasa suka”. “Rasa Suka” adalah subjektifitas dari setiap orang. Ada banyak alasan personal yang kemudian mendasari apakah seseorang suka atau tidak suka terhadap sesuatu. Suka tidak sama dengan ciri-ciri umum kepastian bahwa setiap besi pasti memuai ketika terkena panas.
Secara matematis, juga kesimpulan ini adalah sebuah pemaksaan mayoritas. Karena faktanya, mayoritas yang dimaksudkan adalah mayoritas dari sampel. Bukan mayoritas dari keseluruhan jumlah objek. Sampel yang diambil adalah 10%, kesimpulan ditarik dari 50%  sampel. Berarti nilai objek yang dijadikan kesimpulan terhadap keseluruhan jumlah objek adalah 5% dari 100% jumlah objek. Masih ada 95% yang belum terjangkau oleh penelitian. Menyatakan 5% adalah mayoritas adalah sebuah pembohongan publik yang sangat nyata.
Metode Silogisme Induktif
Cara meneliti seperti ini pada dasarnya bersandar pada metode penarikan kesimpulan dengan model silogisme induktif. Silogisme induktif adalah model penarikan kesimpulan dimana kesimpulan adalah konsekuensi logis dari pertemuan prinsip umum pada premis mayor dan premis minor. Premis mayor dalam silogisme induktif adalah premis yang mengandung nilai partikularitas sedangkan premis minor merupakan prinsip universal. Contoh dari silogisme induktif adalah :
Premis MayorSi Fulan Tukang Becak di Makassar.
Premis MinorTukang Becak di Makassar tidak suka makan cokelat
KonklusiMaka, Si Fulan juga pasti tidak suka makan cokelat.
Konklusi yang dihasilkan dari model silogisme induktif cenderung dipaksakan. Kita akan bertanya apa jaminannya bahwa ada sebuah keniscayaan hubungan atau kemutlakan antara profesi sebagai tukang becak dengan suka atau tidak sukanya seseorang makan cokelat?
Model silogisme induktif pada dasarnya bersandar pada sebuah prinsip universal yang tidak disebutkan. Kita hanya bisa menarik kesimpulan yang valid dari sebuah model silogisme induktif setelah sebelumnya kita menyatakan validitas sebuah prinsip universal bahwa “ada hubungan kemutlakan antara profesi tukang becak dengan “rasa tidak suka” makan cokelat”. Tanpa bersandar pada prinsip ini tentu saja model silogisme induktif tidak akan mendapatkan validitas objektivitasnya. Maka pada dasarnya, silogisme induktif adalah silogisme deduktif yang tersembunyi. Karena, objektif atau tidaknya sebuah kesimpulan bersandar pada validitas premis universal yang dijadikan sebagai sandarannya.
Memang secara sederhana ketika kita melihat dengan contoh diatas kita akan menyatakan bahwa mustahil kita akan terjebak pada sebuah ketololan seperti ini. Tapi percaya atau tidak, kebanyakan penelitian tentang hukum dan masalah-masalah sosial bersandar pada model silogisme induktif yang menyeret setiap konklusi pada fallacy of dramatic instance. Hal ini karena kemustahilan untuk melakukan penelitian secara empiris terhadap seluruh objek di dunia ini di setiap waktu. Kalau kita ingin konsisten dan mendapatkan validitas kesimpulan dari model silogisme deduktif, maka kita akan mustah untuk melakukan penarikan kesimpulan. Karena setiap waktu kemungkinan untuk munculnya sebuah kasus yang berbeda tetap ada.
Paradigma ilmiah empiris juga berjalan dalam kerangka pikir ini. Inilah penyebab utama kenapa setiap teori ilmiah selalu berubah setiap waktu. Tidak ada teori ilmiah empirisme yang tidak terbantah karena munculnya bukti baru untuk kasus yang baru.

Comments

Popular posts from this blog

PRO KONTRA MANTAN TERPIDANA JADI CALEG

Kesalahan Berfikir Ilmiah (Bagian 3) : Fallacy of Misplaced Concreteness

Kesalahan Berfikir (Bagian 2) : Fallacy of Retrospective Determinism