Negeri Para Pecundang

Jenuh untuk membicarakan apa hal terbaik yang haus diperbuat agar Indonesia bisa menjadi sebuah negara seperti yang diharapkan rakyatnya. Negara ini adalah negara para pecundang. Negara yang hanya memberikan ruang bagi mereka yang rela mensedekahkan liurnya untuk menjilat angkuhnya para pecundang. Hanya di negara ini seorang koruptor diagungkan seperti nabi. Hanyandi negara ini seorang pengecut dapat terpilih dua kali menjadi presiden. Hanya di negara ini uang lebih berkuasa daripada hukum. Hanya di negara ini, emas dijual kepada asing, sedangkan rakyatnya mati kelaparan. Hanya di negara ini, orang asing lebih dihargai daripada rakyat pribumi. Hanya di negara ini, pendidikan berhasil menciptakan birokrasi penipu dari hulu sampai hilir, mencetak generasi penipu yang menganggap ujian adalah segala-galanya. Hanya di negara ini kitab suci dikorupsi. Hanya di negara ini, mahasiswa tidak bercita-cita untuk menjadi pekerja, tapi politisi kelas kacangan yang mengincar proyek-proyek pemerintah. Dan hanya di negara ini, wakil rakyat tidak mengerti apa yang mereka harus lakukan.

Lalu kemanakah demokrasi bersembunyi? Coba tengok di tempat sampah di seberang istana negara. Dimanakah kesejahteraan rakyat dieksekusi? Coba tengok kumpulan kondom yang pasti menjadi sampah rutin di parlemen setiap harinya. Dimanakah Tuhan mereka posisikan? Dengarkanlah teriakan mereka ketika mereka menghancurkan warung-warung kecil.

Mungkin ada diantara kalian semua yang tidak menjadi pecundang seperti saya. Saya yang hanya bisa melakukan perlawanan melalui tulisan, saya yang menjadikan setiap kata adalah senjata. Semoga ada di antara kalian yang tidak menjadi pecundang seperti saya, yang hanya bisa teriak dalam bahasa-bahasa yang pasif. Semoga diantara kalian masih ada yang ingin melihat indonesia seperti apa yang diharapkan, bukan duduk dan menunggu para pecundang itu meludahi wajahmu.

Comments

Popular posts from this blog

PRO KONTRA MANTAN TERPIDANA JADI CALEG

Kesalahan Berfikir Ilmiah (Bagian 3) : Fallacy of Misplaced Concreteness

Kesalahan Berfikir (Bagian 2) : Fallacy of Retrospective Determinism