Dicaci Sebelum Terbukti Bersalah

Satu lagi fenomena menarik saat ini adalah bagaimana respon netizen terkait kasus racun sianida dalam pembunuhan Wayan Mirna yang diduga dilakukan oleh Jessica Wongso. Namun sebelumnya saya perlu menyampaikan satu hal, agar semua orang tidak salah paham. Saya menulis ini semata-mata untuk mengkaji respon mayoritas yang beredar di sosial media terkait kasus tersebut. Bukan dalam kerangka membela salah satu pihak (berhubung saya juga tidak pernah diminta untuk menjadi kuasa hukum salah satunya)

Kasus tersebut menarik, karena metode pembunuhan yang digunakan oleh pelaku (siapapun itu) tidak lazim digunakan oleh masyarakat Indonesia. Tidak lazim, bukan berarti tidak bisa digunakan. Namun saat mayoritas orang menggunakan senjata tajam untuk melampiaskan dendam dan menghilangkan nyawa, saya pikir pilihan untuk menggunakan racun sebagai medium cukup cerdas. Karena sangat efektif untuk mengaburkan jarak antara pelaku dan korban. Bahkan sempat ada isu yag beredar bahwa metode ini terinspirasi dari salah satu episode komik Detective Conan, sehingga hanya Shinichi Kudo yang bisa memecahkan masalah ini. 

Namun yang sesungguhnya menarik adalah bagaimana respon Netizen terkait perkembangan kasus ini. Sejak tim penyidik Polda Metro Jaya menetapkan Jessica Wongso sebagai "tersangka", berhamburanlah meme-meme, foto editan, quote tentang sianida, si ani dah... si ani dan kawan-kawan sampai undangan minum kopi rasa sianida. Seakan-akan bahwa proses penyidikan di tingkat kepolisian merupakan tahap akhir dari pengusutan sebuah kasus dalam perspektif hukum pidana. 

Respon ini kemudian seolah memposisikan siapapun yang ditetapkan menjadi tersangka, Haqqul Yakin 100% pasti bersalah. Sehingga apabila proses pembuktian di Pengadilan yang terbukti malah sebaliknya, bermunculanlah hujatan, tuduhan dan cacian yang sekali lagi akan dialamatkan kepada Majelis Hakim. Majelis Hakim memang selalu menjadi sasaran paling empuk tuduhan penerimaan suap di pengadilan, karena dianggap belum bisa pegang sendok sendiri dan belum bisa makan sendiri (apalagi kalau disuap sama gebetan, wih... seperti balita di cafe-cafe yang lagi kasmaran). 

Menarik, karena ada penghukuman sebelum persidangan. Penghukuman yang bisa saja mengintervensi dan menyandera kebebasan berfikir Majelis Hakim untuk memutuskan perkara ini seobjektif mungkin berdasarkan fakta-fakta yang terbukti di sepanjang persidangan. 

Mungkin ada baiknya bagi kita semua untuk sekedar mengetahui bahwa proses hukum yang berjalan di tingkat penyidikan yang dilakukan oleh Tim Penyidik Polda Metro Jaya sampai nanti ketika kasus ini dipersidangkan, semuanya tunduk pada aturan-aturan, asas serta mekanisme penyelesaian sebuah perkara pidana. Dalam perspektif hukum pidana, kata "Tersangka" diartikan bahwa seseorang yang memperoleh status tersebut "patut diduga" adalah pelaku sebuah tindak pidana. Istilah "patut diduga" ini sebaiknya tidak diartikan sebagai "bersalah", karena "dugaan" dan "bersalah sebagai hukuman" adalah dua kata yang memiliki makna berbeda. Maka dari itu, seseorang yang "diduga" belum tentu pelakunya.

Ini hal yang mungkin harus dipahami terlebih dahulu, sebelum kalian jauh membuka photoshop dan membuat meme untuk disebarkan (atau menggunakan aplikasi paint untuk membuat gambar pemandangan). Karena saya pikir, istilah ini yang paling banyak mengalami mispersepsi sehingga seolah menjadi pelegitimasi untuk masyarakat agar dapat menghujat sesuka hati setiap orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Padahal setiap tersangka juga memiliki hak untuk diperlakukan secara adil menurut hukum, termasuk mendapatkan perlakuan yang layak dalam kerangka asas "Presumption of Innocent" (Praduga Tidak Bersalah), bukan asas "Praduga Bersalah".


Seorang yang ditetapkan sebagai "tersangka" adalah orang yang patut diduga telah melakukan tindak pidana berdasarkan 2 (dua) alat bukti. Apakah ini cukup? Cukup untuk menduga, tapi belum cukup untuk membuktikan bersalah. Karena alat bukti bisa saja lebih dari 2 (dua). Oleh karena itu, masih dibutuhkan proses persidangan di Pengadilan yang kemudian melakukan pemeriksaan lebih mendalam terhadap sebuah kasus. Karena bisa saja, masih ada bukti-bukti lain yang meringankan tersangka di Pengadilan sehingga seorang tersangka dapat dibebaskan karena tidak patut untuk dinyatakan bersalah.

Begitu pula berdasarkan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (Perkap No. 14/2012) Pasal 1 Angka 14 yang menyatakan bahwa :

"Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana".

Sedangkan apa yang dimaksud dengan "bukti permulaan" berdasarkan Pasal 1 Angka 21 Perkap No. 14/2012 adalah :

"Bukti Permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan".

Hal tersebut diatas kemudian menjelaskan kepada kita bahwa betapa mudahnya seseorang ditetapkan sebagai tersangka di Indonesia. Cukup dengan sebuah Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, maka terpenuhilah 2 (dua) alat bukti sebagai syarat penetapan tersangka.

Dengan pengetahuan yang sangat terbatas dari segi hukum ini (karena berprofesi sebagai Advokat tidak cukup untuk dikatakan sebagai pakar hukum), saya agak resah melihat bagaimana hujatan yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat terhadap Jessica yang ditetapkan sebagai tersangka. Resah karena saya melihat seolah ada ekspektasi besar masyarakat untuk memaksa Jessica diposisikan sebagai orang yang bersalah. 

Padalah kalau Jessica ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang memberatkan, sekali lagi..... masih memungkinkan ada 3, 4, atau 5 alat bukti yang belum terungkap yang bisa saja meringankan posisi Jessica. 

Karena itu, marilah berfikir bijak. Berfikir dengan memposisikan diri sebagai pengamat yang baik kalau kita adalah orang yang paham tentang proses pidana atau sebagai pelajar yang baik kalau sama sekai awam tentang Hukum Acara Pidana. 

Begitupula menjadi Bijak dengan cara berfikir seadil-adilnnya. Berfikir bahwa segala kemungkinan masih bisa terjadi di kasus ini. Berfikir bahwa menurut hukum setiap "tersangka" masih memiliki hak untuk dinyatakan tidak bersalah sebelum adanya vonis inkracht van gewijsde (berkekuatan hukum tetap) dari lembaga peradilan. 

Mari menyerahkan porses ini kepada pihak yang berwenang sambil terus mendukung mereka untuk bekerja seobjektif dan seprofessional mungkin, agar keadilan dapat segera diwujudkan bagi seluruh pihak yang terkait. Karena sesungguhnya berbuat adil itu harus dimulai dari diri sendiri. Dimulai dari belajar untuk berfikir adil, yaitu tidak mencaci sebelum seseorang dinyatakan bersalah menurut hukum.

Comments

Popular posts from this blog

PRO KONTRA MANTAN TERPIDANA JADI CALEG

Kesalahan Berfikir Ilmiah (Bagian 3) : Fallacy of Misplaced Concreteness

Kesalahan Berfikir (Bagian 2) : Fallacy of Retrospective Determinism