Mencicipi Pancasila Rasa Philosophische Grondslag

Karena saat ini reaksi konservatif yang merespon perubahan global muncul seperti jamur di musim hujan, tidak ada salahnya kalau di tulisan kali ini saya memulainya dengan reaksi romantisme generasi 90-an. Ini lagi trend di beberapa sosial media, dimana beberapa anak muda kreatif mencoba menampilkan lagi indahnya pengalaman yang dirasakan oleh mereka yang lahir dan tumbuh besar di sekitar tahun 90-an. Namun, bukan seperti apa yang saat ini ditampilkan yaitu keindahan permainan-permainan yang jauh dari individualisme gadget, saya lebih tertarik untuk sedikit mengingat satu pelajaran yang dulu saya dapatkan ketika bersekolah. Pendidikan Moral Pancasila yang disingkat PMP yang mungkin tidak asing bagi mereka para alumni generasi 90-an.

Saya masih ingat beberapa poin penting dari pelajaran tersebut, misalnya toleransi antar umat beragama, tepa selira, kerukunan dan beberapa pelajaran tentang moral yang disajikan bersama gambar-gambar pakaian adat, rumah adat dan simbol-simbol agama yang saling berdampingan dalam buku-buku cetak PMP. Hari ini saya berfikir bahwa pelajaran tersebut sesungguhnya sangat menarik, setidaknya apabila kita ingin menelisik lebih dalam terhadap makna dari pelajaran tersebut. Terlepas pelajaran tersebut diajarkan di era orde baru yang bagi sebagian besar aktivis disejajarkan dengan abad skolastik di eropa.

Yang menarik adalah, nama pelajaran tersebut menyelipkan kata “moral” diantara kata “pendidikan” dan “pancasila”. Menarik karena Pancasila dalam pelajaran tersebut sesungguhnya tidak ditafsirkan secara kaku sebatas symbol yang dipajang diantara foto presiden dan wakil presiden di setiap ruang kelas. Namun lebih jauh kearah bahwa Pancasila ditafsirkan sebagai standarisasi moralitas bangsa Indonesia. Moral akan selalu berhubungan dengan tindakan. Akan selalu berasosiasi dengan etika dan pergaulan hidup. Ada standarisasi baik dan buruk yang diajarkan. Sesungguhnya pelajaran ini merupakan turunan konsep axiologis dari Pancasila sebagai ideologi Negara.

Saya masih ingat, 5 sila Pancasila dulu bahkan sampai bisa diturunkan menjadi 36 butir dari setiap sila. 36 butir yang saya pikir merupakan tafsiran praktis bagaimana konsep tindakan yang seharusnya lahir dari pancasila. Entah hari ini pelajaran tersebut apakah masih ada atau sudah dihilangkan. Namun menurut saya, tafsiran ini masih penting setidaknya meminimalisir radikalisasi berfikir yang merebak di Indonesia beberapa saat terakhir.

Moralitas adalah sebuah konsep filosofis, axiologis tepatnya. Pancasila yang diajarkan dalam pelajaran PMP dan diposisikan sebagai standarisasi moral tentu saja merupakan pelajaran tentang falsafah dasar bangsa yang diajarkan sejak dini kepada para penerus generasi. Minimal mereka yang pernah mengecap pelajaran PMP tahu bahwa perbadaan suku, agama, budaya, adat istiadat bukanlah merupakan hal yang harus dibenci. Tidak seperti mereka yang melihat perbedaan sebagai sebuah hal yang harus diberantas. Atau setidaknya memperkenalkan sejak dini bahwa Indonesia adalah negara yang tegak di atas fakta heterogenitas.

Saya pikir saat ini, pelajaran PMP perlu dilirik lagi. Karena sesungguhnya konten pelajaran ini sangat menarik apalagi jika diperhadapkan dengan doktrin 72 bidadari versi lapak sebelah. Dikaji ulang dalam posisinya sebagai konsep moralitas, yang merupakan turunan dari hakikat pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa. Dimana ideologi adalah sebuah konsep praktis dari sebuah pandangan dunia dan pandangan dunia mesti memiliki bangunan epistemologi. Karena mengkaji pancasila secara filosofis, mungkin merupakan amanah Ir. Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Dimana beliau dengan tegas menyatakan bahwa Pancasila adalah Philosophische Grondslag, sebuah kata dari bahasa belanda yang artinya filosofi dasar sebuah bangsa. 

Comments

Popular posts from this blog

PRO KONTRA MANTAN TERPIDANA JADI CALEG

Kesalahan Berfikir Ilmiah (Bagian 3) : Fallacy of Misplaced Concreteness

Kesalahan Berfikir (Bagian 2) : Fallacy of Retrospective Determinism