Bom Bunuh Diri Partai Politik. Prediksi 2 Rencana Dibalik Wacana Revisi UU No. 8/2015

Niatan Ahok untuk maju sebagai calon Independen dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 nantinya memang merupakan hal yang sangat fenomenal. Fenomenalnya bukan karena Ahok adalah Bakal Calon Gubernur pertama yang memilih jalur Independen, namun wacana Independen vs Partai Politik yang menjadi backgroundnya sehingga pertarungan ini tampak lebih seru.

Setiap episode pertarungan ini memang selalu menarik untuk dikaji. Setiap strategi yang terlempar ke publik menggelitik setiap nalar untuk menganalisis. Hal ini tampak dari respon terhadap Pilkada DKI Jakarta yang datang bukan hanya dari warga Jakarta itu sendiri, tapi dari seluruh Indonesia. Fakta yang membuat pertarungan ini akhirnya naik kelas dari sekedar pentas lokal ke pentas nasional.

Episode inipun akhirnya memasuki babak yang baru. Fraksi-fraksi di DPR RI semakin menunjukkan diri mereka sebagai representase Partai Politik. Setidaknya itu yang tergambar dari niatan mereka untuk merevisi UU No. 8/2015 dan menaikkan standar persentase persyaratan calon Independen (Vide Pasal 41 UU No. 8/2015). Walaupun ini tidak hanya merugikan Ahok karena peluang calon Independen akan ada di setiap daerah. Namun dalam kalkulasi Politik, membiarkan Ahok menang secara Independen adalah kerugian besar bagi Partai Politik. Karena kemenangan Ahok tanpa campur tangan Partai akan menjadikan Ahok sebagai samurai tanpa tuan. Sebuah kondisi yang mengerikan bagi Partai Politik dengan logika pengendaliannya dan para mafia rente yang masih ingin menikmati cipratan dana besar APBD DKI Jakarta.

Namun Politik tetap saja akan berjalan dengan logikanya. Fenomena yang membuat kita tidak bisa menafsirkan realitas yang disajikan berdasarkan apa yang tampak. Analisis kepentingan dibaliknya akan tetap menjadi pendekatan ideal membedah episode pertarungan Kali ini. Setidaknya, subjektifitas saya menafsirkan ada 2 (dua) tujuan dibalik strategi ini yang menarik untuk dikaji, yaitu :
1. Isu ini merupakan respon terhadap perang terbuka yang ditawarkan Ahok kepada Partai Politik. Walaupun memang ini adalah analisis yang bisa ditangkap oleh hampir semua orang. Namun perang terbuka yang saya maksudkan bukan sebatas ekspresi ketakutan, namun supremasi Partai Politik yang ingin ditampilkan untuk merecovery citra Partai yang hancur. Dalam analisis ini Partai Politik kemungkinan ingin menunjukkan kekuatannya kepada Ahok. Mereka ingin menunjukkan bahwa sehebat apapun, level Ahok hanyalah Kepala Daerah yang tidak akan mampu mempengaruhi eskalasi Politik Nasional. Partai Politik kemudian memanfaatkan celah ini untuk mewujudkan keinginannya menjadikan Pilkada DKI tanpa Ahok. Sebuah kondisi yang akan menguntungkan Partai Politik. Maka untuk mewujudkan itu, Partai Politik bersatu padu menjegal Ahok di persyaratan Administratif.

2. Isu ini ditujukan untuk membangun posisi tawar Partai Politik terhadap Ahok. Partai Politik akan berusaha menggiring pertarungan ini kearah yang lebih tertutup sebagaimana strategi Terbaik untuk mengalahkan harimau adalah dengan memancingnya untuk turun dari gunung. Karena biar bagaimanapun, perang terbuka dengan Ahok merupakan hal yang sangat dihindari oleh Partai Politik. Ahok dengan citranya akan sangat mudah mengkonversi isu "Rakyat vs Partai Politik" sebagai arena pertarungan. Apabila ini terjadi maka, Partai Politik akan kehilangan kendalinya terhadap pertarungan tersebut. Oleh karena itu, Partai Politik tetap akan berusaha menarik Ahok masuk dalam pusaran kepentingannya dengan cara melemahkan posisi Ahok sehingga ruang negosiasi terbuka lebar.

Isu ini diharapkan mampu melemahkan semangat Teman Ahok sebagai mesin utama. Semakin singkatnya waktu ditambah semakin beratnya persyaratan diharapkan memecah konsentrasi Teman Ahok. Tujuannya pastilah memecah fokus Teman Ahok dengan menyerahnya mereka yang apatis. Menciptakan skeptisisme internal sehingga Teman Ahok akan merestui Ahok dipinang oleh Partai Politik.

Kalau isu yang kedua ini terjadi, satu-satunya cara adalah Teman Ahok harus mampu menggiring pertarungan ini ke arah pertarungan terbuka. Pada arena yang lebih terbuka, Ahok sangat berpeluang mendikte lawannya dengan menyerap suara dari mereka yang apatis dan pemilih pemula. Dimana dengan jumlah mereka yang signifikan terbukti mampu memenangkan Jokowi-Ahok pada Pilkada sebelumnya.

Namun dua kondisi di atas tetap saja menjadi bom bunuh diri bagi Partai Politik. Terbukanya isu ini akan cepat dikonversi oleh Ahok menjadi perang terbuka. Bisa saja isu Independen vs Partai Politik akan terupgrade menjadi Rakyat vs Partai Politik.

Partai Politik juga harus berhitung bahwa kondisi Pilkada DKI yang menjadi isu nasional akan menyebabkan segala konsekuensi yang lahir menyebar ke seluruh daerah. Berhasilnya Ahok menjadi role model Kepala Daerah yang ideal, membuat kemenangannya secara Independen akan menimbulkan deparpolisasi di beberapa daerah.

Oleh karena itu, saya pikir kedua kemungkinan ini akan sama merugikannya. Kecuali Partai Politik berbenah untuk objektif bahwa rakyat membutuhkan pemimpin pekerja, bukan pemimpin yang berutang budi pada Partai Politik.

Comments

Popular posts from this blog

PRO KONTRA MANTAN TERPIDANA JADI CALEG

Kesalahan Berfikir Ilmiah (Bagian 3) : Fallacy of Misplaced Concreteness

Kesalahan Berfikir (Bagian 2) : Fallacy of Retrospective Determinism