Redefinisi Untuk Meloloskan Diri (Ketika Wakil Rakyat Bukan Pejabat Negara)

Sejak semalam saya tergerak untuk menulis tentang tema ini. Penyebabnya karena di timeline sosmed saya sejak semalam berkeliaran link-link berita dari salah seorang Anggota DPRD DKI Jakarta yang menyatakan bahwa dirinya tidak wajib untuk melaporkan harta kekayaannya ke KPK, karena menurut beliau posisinya sebagai anggota DPRD tidak masuk dalam definisi pejabat negara sebagai pihak yang wajib melaporkan. Asumsinya, "Anggota DPRD bukan pejabat negara tapi wakil rakyat". Apesnya, yang mengangkat berita tersebut adalah media nasional legendaris, sehingga kemungkinan besar statement itu memang dikeluarkan oleh beliau yang terhormat.

Menurut saya, ini merupakan statement yang cukup fenomenal dan "hampir cerdas". Ada aroma kepercayaan diri yang tinggi ketika beliau berusaha membedakan posisi Anggota DPRD sebagai wakil rakyat dari status pejabat Negara. Namun sangat disayangkan ketika statement itu keluar sebagai respon dari ditagihkannya kewajiban untuk melaporkan harta kekayaan ke KPK. Sehingga warna "melarikan diri" saya pikir cukup kental dalam statement tersebut.

Lalu siapa sebenarnya yang dimaksud dengan Pejabat Negara? Ini pertanyaan inti yang seharusnya dikaji, mengingat statement tersebut sedikit banyak telah menggelitik nalar kritis beberapa orang termasuk saya. Atau setidaknya kita tidak terhindar dari sesat berfikir dalam merespon hal tersebut.

C.F. Strong dalam Modern Political Constitution membagi dua pengertian Pemerintahan yaitu dalam arti luas yang mencakup organisasi negara dengan segala alat kelengkapannya dan dalam arti sempit yang mencakup Pemerintahan dalam arti pelaksanaan fungsi eksekutif. Pendapat ini setidaknya selaras dengan teori umum dalam perspektif lembaga Negara yang mendefinisikan lembaga Negara dalam dua bentuk, diantaranya :

1. Primary state organs yang merupakan manifestasi 3 Kewenangan utama  yaitu eksekutif, legislatif dan judicial. Contohnya : Lembaga Kepresidenan, DPR, DPRD dan Mahkamah Agung/Mahkamah Konstitusi. 

2. Auxiliary state organs yang merupakan lembaga Negara penunjang seperti misalnya komisi-komisi negara.

Dalam kedua pengertian tersebut pun, keduanya masih disebut sebagai lembaga Negara. Begitupun dengan pengertian dasar tentang sistem pemerintahan presidensil yang membagi terminologi Negara dan pemerintah walaupun Kepala Negara dan Kepala pemerintah berada pada satu jabatan yaitu Presiden. Namun pemisahan terminologi ini menegaskan adanya perbedaan fungsi antara Presiden sebagai Kepala Negara dan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.

Oleh karena itu, DPR dan DPRD seharusnya diposisikan sebagai lembaga Negara yang menjalankan fungsi Negara sehingga mutatis mutandis pejabatnya pun masuk dalam kategori pejabat Negara. Apalagi faktanya mereka digaji dari keuangan Negara apakah itu APBN maupun APBD.

Saya tidak mengerti, apakah statement beliau tersebut keluar dari sebuah kajian yang komperhensif tentang sistem Pemerintahan. Namun kalimat "saya bukan pejabat Negara tapi "wakil rakyat" seolah memposisikan kata "pejabat negara" memiliki arti yang berbeda dengan "wakil rakyat", sehingga DPRD kemudian tidak didefinisikan sebagai " pejabat Negara".

Terminologi "wakil rakyat" seharusnya diposisikan sebagai prinsip dasar posisi Anggota DPRD. Prinsip dasar yang lahir dari fakta bahwa Anggota DPRD menduduki posisinya dari sebuah proses pemilihan umum. Namun, hal tersebut tidak menghapuskan status Anggota DPRD sebagai pejabat Negara.

Oleh karena itu, saya cukup senang ketika beliau sadar bahwa dirinya adalah wakil rakyat. Beliau sadar akan prinsip dasar jabatannya sebagai Anggota DPRD. Namun sangat disayangkan karena kesadaran itu lahir sebagai respon atas kewajibannya untuk melaporkan harta kekayaan. Kesadaran yang patut dicurigai sebagai upaya meloloskan diri dalam strategi menipu langit menyebrangi samudera ala Sun Tzu. Kalau pakai bahasanya teman saya "mau tongi lolos..."

Comments

Popular posts from this blog

PRO KONTRA MANTAN TERPIDANA JADI CALEG

Kesalahan Berfikir Ilmiah (Bagian 3) : Fallacy of Misplaced Concreteness

Kesalahan Berfikir (Bagian 2) : Fallacy of Retrospective Determinism