Baliho dan HIV

Baliho di Sebuah Kota sebut saja namanya Makassar (source : google.com)

Saya mau cerita tentang sebuah kota yang masyarakatnya sepertinya terobsesi dengan Baliho. Sebut saja nama kota tersebut Makassar (nama samaran). Ini kota kelahiran saya, saya lahir dan besar di sini. Tapi sepertinya beberapa tahun terakhir, obsesi masyarakat Makassar agak sedikit berubah, setidaknya berbeda sejak saya meninggalkan kota ini beberapa tahun yang lalu.

Kalian tahu Baliho? Itu loh, spanduk-spanduk besar berukuran transformer yang dipasang di pinggir jalan. Hakikatnya sih sebenarnya untuk tujuan promosi produk atau sebagai media marketing event dan acara tertentu. Cuma, di Makassar ini, sejak sistem pilkada/pileg berubah menjadi sistem pemilihan langsung, masyarakat Makassar sepertinya semakin terobsesi dengan Baliho. Semua orang berlomba-lomba mencetak baliho untuk mempromosikan wajah mereka, terserah kontennya apa.

Ini seperti virus HIV (Hasrat Ingin Vengakuan). Menular dan menyebar dengan cepat secepat kecepatan cahaya. Dan kita bisa lihat yg terjadi, Makassar akhirnya penuh dengan Baliho. Mulai dari Bandara sampai Pantai Losari, kalian bisa melihat jejeran baliho-baliho yang terpampang seperti katalog.

Sebenarnya apabila baliho ini seandainya dipasang betul-betul untuk tujuan promosi produk, baliho sebanyak itu tentu saja membanggakan. Yah... Artinya industri di Makassar maju. Tapi sayangnya, baliho itu ditujukan untuk promosi wajah orang-orang yang ingin maju dalam kontestasi politik.

Loh kok Kontestasi politik? Bukannya Pilkada masih tahun depan? Bukannya Pileg masih 2 tahun lagi?

Nah itu dia masalahnya Om dan Tante sekalian, mereka ini terlalu bersemangat sehingga walaupun Pilkada masih lama, mereka sepertinya senang aja melihat wajahnya terpasang besar-besar di pinggir jalan.

Ini membuat Makassar lebih tampak seperti buku tahunan yang berisi foto-foto wajah daripada sebuah kota. Dari bandara sampai pantai Losari, kalian bisa lihat wajah-wajah yang sungguh tidak penting. Mulai dari tua sampai muda. Mulai dari yang high class sampai yang degradasi. Semua ada dan semua adalah baliho yang ada foto wajahnya. Bahkan sampai ada baliho tentang informasi pembayaran zakat, namun foto wajah pengurus Badan Amil Zakatnya lebih besar terpampang daripada tulisan informasi tentang dimana zakat tersebut bisa dibayarkan.

Saking banyaknya baliho ini, sampai ada satu kompleks ruko di salah satu jalan protokol Makassar yang gedung-gedung rukonya tidak lagi terlihat karena tertutup baliho. Pokoknya kalau kalian mau cari inspirasi model baliho atau model pose yang baik untuk baliho silahkan ke Makassar, data base model balihonya lebih banyak dari data base google images.

Tidak salah sih fenomena ini. Tapi lucu saja, melihat orang-orang tersebut terobsesi untuk memamerkan wajah mereka. Dan kayaknya di Makassar kalau kita bikin spanduk atau baliho untuk acara apapun tidak afdhol kalau tidak ada foto wajahnya. Walaupun itu hanya acara arisan se RT, tetap harus ada foto Ketua Panitia dan Sekretarisnya. Atau spanduk ucapan selamat datang, tetap harus ada foto panitia pelaksananya.

Atau mungkin masyarakat Makassar memang senang dengan baliho-baliho dari calon politisi ini. Mungkin mereka berfikir bahwa masalah sosial bisa selesai dengan baliho. Sembako bisa turun dengan baliho atau pengangguran bisa dikurangi dengan baliho. Maksudnya pengangguran bisa dipekerjakan sebagai tukang pasang baliho.

Terus walikotanya bagaimana?? Jangan tanya om/Tante, tentu saja walikotanya gak mau ketinggalan. Mulai dari spanduk ukuran 1x3 sampai Billboard adalah media promosi untuk pak walikota, beserta kelompok atau ormas atau mungkin geng motor pendukungnya (habis logonya mirip Harley Davidson sih).

Oh yah, by the way di Makassar pak walikota baru saja merenovasi sebuah trotoar di Jl. Nusantara. Renovasi itu sederhananya begini, luas jalan dikurangi, dan luas trotoar di tambah. Nah jangan-jangan ini juga untuk semakin mempermudah pemasangan baliho.

Comments

Popular posts from this blog

PRO KONTRA MANTAN TERPIDANA JADI CALEG

Kesalahan Berfikir Ilmiah (Bagian 3) : Fallacy of Misplaced Concreteness

Kesalahan Berfikir (Bagian 2) : Fallacy of Retrospective Determinism