P.E.R.S.P.E.K.T.I.F

Pada suhu 20 derajat, kamu bisa bilang itu adalah dingin, namun yang lain sah-sah saja mengatakan bahwa itu hangat. Ini adalah Perspektif.

Lantai 2 bisa saja dikatakan sebagai lantai atas bagi mereka yang berada di lantai 1, namun bagi mereka yang berada di lantai 3 itu berada di bawah. Ini adalah Perspektif.

Ada yang bilang warna matahari kuning. Ada sebagian yang bilang warnanya hitam. Sebagian yang terakhir ini adalah Buta Warna.... Eh... Sorry... Ini paragraf yang gak masuk di pembahasan.

********

Dalam pengertian yang paling literal, menurut KBBI, Perspektif didefinisikan sebagai :

1. cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar, dan tingginya); 

2. sudut pandang; pandangan;

Definisi pertama ini adalah definisi matematis dari perspektif. Kita tidak membahas definisi ini. Yang akan kita bahas adalah definisi kedua sebagai definisi perspektif dalam diskursus, yaitu sebagai "sudut pandang".

Sudut pandang, kadang menjadi pembeda kita dengan yang lain dalam memahami sebuah realitas (sorry bahasanya mulai agak meninggi... Ntar gue turunin lagi. Tenang aja..). Misalnya pada sesuatu, kita ambil contoh persoalan lantai 2 diatas tadi. Bagi mereka yang di lantai 1, lantai 2 adalah ruang yang berada di "atas". 

Kenapa? Karena perspektifnya, sudut pandangnya dalam memahami lantai 2 dari posisinya di lantai 1. Begitupun dengan mereka yang berada di lantai 3, mereka menyatakan bahwa lantai 2 terletak di "bawah". Sekali lagi ini karena perspektifnya, sudut pandangnya yang melihat lantai 2 dari posisinya yang berada di lantai 3.

Apakah mereka yang berada di lantai 1 salah ketika mengatakan bahwa lantai 2 itu di atas? Kalau kita bisa paham perspektifnya, kita pasti tidak menyalahkannya. Begitupun kita tidak akan menyalahkan mereka yang di lantai 3 ketika mengatakan bahwa lantai 2 berada di bawah, karena kita bisa memahami perspektifnya.

Ini contoh sederhana. Kita mungkin akan terpingkal-pingkal, atau bahkan mengatakan mereka gila, ketika seandainya ada orang dari lantai 1 dan lantai 3 berdebat tentang apakah lantai 2 itu di atas atau di bawah. Dengan kesadaran penuh kita pasti mengatakan bahwa hal tersebut tidak usah diperdebatkan karena perspektif lantai 1 beda dengan perspektif lantai 3 dalam melihat lantai 2. Kenapa? Sekali lagi karena kita bisa memahami perspektifnya.

*******

Memahami perbedaan perspektif, mengenal perspektif, seharusnya membuat kita bisa menjadi lebih bijak. Perspektif mengajarkan kita bahwa ada hal-hal yang tidak usah diperdebatkan. Ada hal-hal yang tidak bisa terhukumi sebagai benar atau salah meskipun hal tersebut berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini dalam logika disebut sebagai perbedaan pertentangan mutadhayifain (kalau ada waktu kita bisa membahas ini dengan segelas kopi).

Kuncinya adalah saling memahami. Karena perbedaan terbesar kita sebagai manusia dengan binatang (sekali lagi) terletak pada pengetahuan kita. Semakin tahu, seharusnya kita semakin paham. Semakin paham seharusnya kita semakin bijak, yaitu menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Yaitu menempatkan perbedaan perspektif kepada hal yang tidak perlu diperdebatkan.

Marilah memahami perspektif dan saling berdamai. Bukankah damai itu lebih baik bagi setiap perspektif dibandingkan harus saling mengkafirkan padahal diantara kita belum ada satupun yang pernah mengunjungi surga dan neraka.

Atau lebih baik energi perdebatan perspektif itu disimpan untuk hal-hal yang lebih produktif. Misalnya berfikir untuk menyelamatkan yang jomblo dan terancam punah.

By the way, jomblo itu bukan perspektif, tapi fakta. Jadi jomblo itu tidak harus diperdebatkan, tapi diselamatkan... Jadi bagi kalian yang jomblo, berhentilah berdebat apakah jomblo itu membahagiakan atau tidak. Karena faktanya, kalian tidak bisa membelah diri seperti amoeba.

Comments

Popular posts from this blog

PRO KONTRA MANTAN TERPIDANA JADI CALEG

Kesalahan Berfikir Ilmiah (Bagian 3) : Fallacy of Misplaced Concreteness

Kesalahan Berfikir (Bagian 2) : Fallacy of Retrospective Determinism