SENYUMAN MENUJU SENJA; Memetik Makna Dari Kasus Dandhy

source : google.com (images : freedom of speech)


Kemarin ketika saya tiba di bandara I Gusti Ngurah Rai, seperti kebiasaan sebagian besar orang-orang millennial hari ini, saya lalu mengaktifkan gawai, membuka aplikasi untuk memesan taksi online menuju hotel yang telah dipesan sebelumnya oleh sekretaris kantor saya. Sambil menghisap dalam-dalam kebulan asap tembakau yang terbakar sembari menuggu kendaraan itu datang, saya sedikit kagum ketika membatin. Saya kagum akan kenyataan dimana hari ini kita semua bahkan bisa memilih dan memastikan apa yang kita inginkan bahkan sebelum hal-hal tersebut berada dalam batas pandangan kita. Kita bisa memilih hotel serta sarana transportasi bahkan sebelum kita disapa oleh senyum sang receptionist atau sebelum kita melihat plat nomor kendaraan itu. Teknologi sungguh adalah sesuatu yang telah melampaui batas ruang dan waktu hari ini.

Gawaiku pun berbunyi setelah dua batang rokok habis terbakar, suara lelaki setengah baya itu kemudian dengan sopan menyapaku dari seberang sembari menanyakan posisiku, bersiap untuk menjemputku. Mobil Suzuki Ertiga berwarna silver itu kemudian hadir dihadapanku, saya pun masuk dan bersiap untuk menuju hotel yang terletak di bilangan Kota Denpasar. Sambil menyandarkan punggung, saya kemudian berhayal tentang betapa indahnya kasur hotel saat ini. Lelah memang menghinggapi otakku saat itu, setelah mata ini berhasil terjaga melewati pergantian hari.

Mochammad Sulfanah, nama lelaki tua itu. Sepanjang jalan bercerita banyak tentang pekerjaannya sebagai seorang driver taxi online. Pekerjaan yang sebenarnya hanya menjadi sambilan baginya disamping pekerjaan utamanya yang juga menjadi supir pada salah satu perusahaan agensi travel di Bali. Dia bercerita dengan semangatnya bagaimana di menjalani dua pekerjaan itu demi memenuhi mimpinya di penghujung usia. Tak sekalipun tampak dari raut wajahnya keluhan akan keletihan menjalani dua pekerjaan itu. Saya membatin malu, karena seharusnya saya yang lebih muda dan memiliki lebih banyak energy, sekarang harus bersandar lelah disampingnya sembari mendengar kisah-kisahnya yang penuh semangat itu.

Saya kemudian bertanya padanya, “apa bapak tidak capek, kerja kayak gitu?”.
“saya aja yang cuma punya satu pekerjaan capek loh pak…, gak ada lagi waktu untuk kerja yang lain…”

Dia terdiam sejenak, seperti membatin. Lalu senyum merekah di bibirnya. Dia berkata…

“gak ada kerja yang gak capek mas… semua kerja pasti capek.
Tapi yah, dinikmati aja…..

Hidup itu untuk dinikmati mas, gak usah dijadikan beban…
kalau hidup jadi beban, semua hal akan tampak sebagai masalah..”

*****

Beberapa hari lalu, di lini masa ramai beredar berita seorang jurnalis senior yang dilaporkan di kepolisian akibat tulisannya yang diduga mencemarkan nama baik seorang ketua partai politik dan presiden republik Indonesia. Dandhy Dwi Laksono,  dipolisikan oleh Relawan Pejuang Demokrasi (REPDEM), sebuah organisasi sayap partai politik di Indonesia karena status yang dia tulis di akun social medianya dianggap telah menghina dan menyebarkan ujaran kebencian kepada Ketua Umum PDIP dan Presiden RI Joko Widodo.

Status itu secara lengkap berbunyi seperti ini :

“Tepat setelah Megawati kembali berkuasa dan lewat kemenangan PDIP dan terpilihnya Presiden Jokowi yang disebutnya sebagai "petugas partai" (sebagaimana Aung San menegaskan kekuasaannya), jumlah penangkapan warga di Papua tembus 1.083”.

Status ini sebenarnya adalah penggalan artikel yang ditulis Dandhy pada salah satu media online. Kabar terakhirnya seluruh isi artikel tersebut bahkan dianggap sebuah penghinaan kepada Ketua Umum PDIP dan Presiden Republik Indonesia.

Sebenarnya, dalam perspektif hukum pencemaran nama baik, fitnah dan yang terakhir adalah hate speech, semuanya spesies dari tindakan genus yang disebut sebagai “penghinaan” atau dalam bahasa hukumnya disebut dengan “bleidiging”. Konstruksi tentang ini merujuk pada unsur-unsur delik yang diatur dalam Pasal 310 KUH Pidana. Disini kita tidak perlu menjelaskan terlalu jauh sampai membahas tentang UU ITE atau Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Karena unsur dasar dari semua tindakan yang dianggap sebagai penghinaan, apapun bentuknya akan merujuk pada konstruksi pasal 310 KUH Pidana tersebut. Dalam kajian hukum pidana, Sebagian pakar menyebut Pasal 310 sebagai gemene delicten, sebagian yang lain menyebutnya algemene delicten, dan yang paling umum mengatakannya sebagai delicta commmuia. Terminologi yang bisa kita diskusikan dengan segelas kopi, bukan dengan tulisan yang sangat sederhana ini.

Secara lengkap, unsur-unsur tindakan yang disebut dengan penghinaan berdasarkan pasal 310 tersebut terdiri dari :

a) Dengan sengaja ;
b) Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain ;
c) Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu ;
d) Dengan maksud nyata supaya diketahui oleh umum ;

Unsur ini bersifat komulatif. Artinya, apabila salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi, maka sebuah tindakan tidak dapat didefinisikan sebagai penghinaan dan mutatis mutandis tidak bisa dihukumi dengan pasal-pasal pidana yang menggantungkan definisinya pada Pasal 310 KUH Pidana. Termasuk tuntutan perdata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1372 Burgerlijk Wetboek. (Pasal-pasal yang berkaitan dengan Pasal 310 KUHP bisa dilihat di infografis).

Dari unsur tersebut, kita dapat melihat bahwa selain perbuatan yang dimaksud dengan penghinaan itu harus dilakukan secara sengaja (sehingga Pasal 310 ini disebut juga sebagai dolus), maka yang seharusnya kita perhatikan secara seksama adalah bahwa kesengajaan tersebut adalah kesengajaan untuk menyerang kehormatan atau nama baik “orang lain”. Terminology “orang” dalam frasa “orang lain” pada pasal tersebut, tentunya merujuk pada pengertian subjek hukum sebagaimana yang dipelajari oleh semua mahasiswa fakultas hukum dalam kuliah Pengantar Ilmu Hukum di semester 1. Dan dalam kuliah tersebut, semua mahasiswa yang mengikuti kuliah itu pasti tahu bahwa subjek hukum itu ada 2 (dua) yaitu orang (natuurlijke persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Partai Politik dan Lembaga Kepresidenan adalah rechtspersoon bukan natuurlijke persoon.

Oleh karena itu, secara sederhana kita bisa dengan mudah menyatakan bahwa Pasal 310 ini diterapkan pada perbuatan yang ditujukan untuk menyerang kehormatan “orang” sebagai natuurlijke person”, bukan kepada lembaga, partai politik atau institusi apapun itu yang dalam hukum disebut sebagai rechtspersoon. Karena memang secara logika, kata kehormatan itu merujuk pada kualitas sifat-sifat yang bisa diterapkan kepada orang, bukan kepada badan hukum. Badan hukum tidak punya nama baik dan kehormatan dan lagi pula, laporan tentang terjadinya tindak pidana penghinaan harus dilakukan sendiri oleh orang yang merasa sebagai korban tindakan tersebut, bukan diwakilkan oleh ormas.

Lalu pertanyaannya, apakah status dan artikel yang ditulis oleh Dandhy Dwi Laksono tersebut adalah termasuk penghinaan dalam hukum pidana?

Jelas bahwa Megawati dalam status tersebut bukan pribadi, tapi Megawati sebagai Ketua Umum PDIP. Begitupula dengan Joko Widodo dalam status tersebut, yang dengan mudah dapat dimengerti sebagai Presiden Republik Indonesia. Rechtspersoon yang menyelenggarakan pemerintahan di negara ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Kata-kata dalam status tersebut juga sama sekali tidak merujuk pada jatuhnya kehormatan seseorang. Apakah ada orang di dunia ini yang kemudian jatuh kehormatannya, atau merasa terhina ketika diberikan predikat sebagai penguasa? Atau menganggap ketika ada seseorang yang menyebutnya sebagai pemenang pemilihan umum, maka dia berifikir orag tersebut telah menuliskan sebuah ucapan kebencian kepada dirinya? Karena jujur saja, saya tidak menemukan rasionalisasi untuk menafsirkan ucapan selamat sebuah kemenangan sebagai kalimat kebencian.

Begitupula dengan cara berfikir yang menyatakan bahwa kalimat dalam status tersebut telah menuduh Megawati sebagai pelaku penangkapan atau terlibat penangkapan terhadap 1.083 orang Papua, hanya karena status tersebut mendeskripsikan angka statistik tertangkapnya orang Papua setelah PDIP memenangkan Pilpres 2009 dan Joko Widodo menjabat sebagai Presiden RI, jelas merupakan bentuk post hoc ergo propter hoc.

Apakah kita semua akan menerima sebuah rasionalisasi kekesalan yang lahir dari sebuah kesalahan berfikir? Apakah sebuah kesalahan berfikir dapat dijadikan sebagai dalil untuk menentukan seseorang bersalah atau tidak? apakah karena kita yang tidak mengerti apa yang dimaksud oleh penulis ketika kita membaca tulisannya, lantas dengan mudah kita menganggap bahwa dia telah melakukan penghinaan dan oleh karenanya dia harus dipenjara? Dan ternyata pikiran saya selama ini yang menyatakan bahwa hanya gigi sensitif yang bisa menyebabkan sakit tak terperi itu salah.

Dalam Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian juga dengan tegas bahwa bleidiging yang dapat dinyatakan sebagai hate speech apabila penghinaan tersebut ditujukan atau bisa berdampak pada lahirnya dikriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan/atau lahirnya konflik sosial yang ditujukan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu berdasarkan perbedaan suku, agama, aliran kepercayaan, ras, golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual. Bukan kebencian terhadap perbedaan pilihan politik atau ketersinggungan seorang Ketua Partai Politik.

Lalu tepatkah tindakan REPDEM melaporkan Dandhy Dwi Laksono telah melakukan hate speech terhadap Ketua Partai Politik dan Presiden? Menurut saya tindakan ini terlalu lucu saja untuk dibedah dalam perspektif hukum.

****

Hukum tidak ditujukan untuk membungkam kritik. Kita juga tidak sedang hidup di era Socrates dan tidak seharusnya kita mengulangi kesalahan pengadilan Ekklesia yang telah membunuhnya. Melainkan hukum itu lahir sebagai puncak evolusi intelektual manusia yang lebih mengerti tentang keadaban dibanding mahluk yang lain.

Memang benar, bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dihadapan hukum. Setiap orang pun berhak untuk melaporkan tindakan apapun yang ditafsirkannya sebagai dugaan terjadinya tindak pidana di kepolisian. Namun, bukankah sepatutnya bahwa pelaporan itu lahir dari kajian yang mendalam dengan melibatkan rasionalisasi dan mengenyampingkan ego atau perasaan? Apalagi ketika pelapornya adalah organisasi massa yang kita tahu bahwa orang-orang yang berada di dalamnya pastilah orang-orang cerdas yang berkumpul untuk memperjuangkan ide-ide serta melakukan tindakan-tindakan yang juga seharusnya cerdas. Organisasi yang menjadi bagian dari sebuah partai politik yang seharusnya dibentuk untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dan dari kejadian dilaporkannya Dandhy Dwi Laksono tersebut, saya sadar bahwa ternyata masih ada orang-orang yang tidak menikmati hidupnya. Masih ada orang-orang yang menjadikan hidupnya sebagai beban. Sehingga di mata mereka, apapun yang dilakukan oleh orang lain tetap saja salah.

Mungkin mereka harus belajar dari Pak Sulfanah, seorang tua yang masih tetap tersenyum di usianya yang menuju senja.


Denpasar, 9 September 2017

Comments

Popular posts from this blog

PRO KONTRA MANTAN TERPIDANA JADI CALEG

Kesalahan Berfikir Ilmiah (Bagian 3) : Fallacy of Misplaced Concreteness

Kesalahan Berfikir (Bagian 2) : Fallacy of Retrospective Determinism