Pemimpin Dalam Tinjauan Filosofis

Salah satu ciri Negara Demokrasi, yaitu adanya Pemilihan Umum. Momentum ini pun di klaim sebagai pesta demokrasi dalam sebuah Negara, dimana rakyat sendiri menentukan nasibnya dengan memilih sendiri wakil- wakil yang diharapkan mampu menyuarakan aspirasinya, bahkan untuk memilih sendiri secara langsung pemimpinnya. Seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 2004, dimana untuk pertama kalinya rakyat Indonesia memilih secara langsung Presiden dan Wakil Presidennya.

Hal ini merupakan sesuatu yang baru bagi bangsa Indonesia. Mengingat pada masa Orde Baru, Indonesia masih melakukan sistem pemilihan yang hanya memilih partai politik yang disebut sebagai representasi dari rakyat dengan mengirimkan figur berdasarkan nomor urut partai yang hampir tidak pernah diketahui susunannya oleh masyarakat untuk duduk di DPR dan MPR yang kemudian berlaku sebagai pemegang otoritas penuh untuk menentukan Presiden dan Wakil Presiden. Pada masa itu masyarakat bahkan tidak mengenal siapa yang kemudian menjadi perwakilan dari partai yang kita pilih. Bahkan ruang yang dibuat untuk interaksi langsung antara masyarakat dan figur yang disiapkan partai untuk menajdi penyampai suara rakyat hampir tidak ada. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu utama yang memunculkan apatisme politik yang menjadi hal paling paradoks ketika berada dalam sebuah Negara yang menjadikan demokrasi sebagai slogannya.

Kondisi ini merupakan sebuah kondisi yang diharapkan oleh pemerintah saat itu. Untuk melanggengkan kekuasaannya maka ia pun menutup rapat- rapat kesempatan bagi munculnya figur yang bisa menggoyahkan kekuasaannya. Dan menjadikan pemilihan umum sebagai formalitas demokrasi yang sebenarnya selama 32 tahun Indonesia diperintah oleh sebuah dinasti. Hal ini terlihat dari terminimalisirnya partai politik peserta pemilu menjadi tiga. Sehingga terjadi pemaksaan paradigma kepada masyarakat Indonesia.

Menurut Huntington, partai politik lahir sebagai cerminan kekuatan sosial yang ada[1]. Maka minimalisir partai politik yang terjadi tidak lebih dari sebuah proses penghancuran kesadaran masyarakat akan status sosialnya dalam sebuah Negara. Dan hancurnya kesadaran rakyat akan status sosialnya dalam sebuah Negara merupakan syarat utama terebntuknya sistem pemerintahan otoriter.

Ciri lain dari sebuah Negara otoriter adalah pemililihan umum tidak menempati posisi sebenarnya sebagai momentum yang menjadi wadah penyampaian aspirasi masyarakat. Malah yang terjadi adalah pemilihan umum termasuk dalam salah satu strategi pemerintah untuk melegitimasi kekuasaannya. Partai politik yang menjadi perserta pemilihan umum pun merupakan partai politik yang menjadi produk buatan pemerintah yang disiapkan sebagai alat pelegitimasi kekuasaan yang paling ampuh. Dan merubah arah interaksi demokrasi yang dari rakyat menjadi dari pemerintah untuk rakyat.

Sistem pemerintahan yang otoriter yang ditampakkan oleh pemerintahan Orde Baru menjadikan segala aspek kehidupan di Indonesia menjadi sangat sentralistik. Sistem politik yang otoriter yang kemudian didukung oleh kekuatan militer dengan penerapan sistem politik paternalistik-militaristik, sistem pemerintahan yang menerapkan sentralisasi dan sistem ekonomi patron client merupakan gambaran umum kehidupan masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. Hal ini dibarengi dengan sistem pembangunan yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia dan disertai dengan langkah politik luar negeri yang mengarahkan Indonesia sebagai Negara pemasok sumber daya alam untuk Negara- Negara dunia pertama.

Hal ini ditandai dengan penandatanganan Letter of Intens (LOI) yang menjadi pelegitimasi intervensi asing dan semakin menandakan ketergantungan bangsa Indonesia terhadap Negara dunia pertama. Dan semakin memberikan ruang kepada Negara dunia pertama untuk menjarah hasil kekayaan bangsa Indonesia. Kemudian memaksa Indonesia masuk kedalam krisis multi dimensional yang seakan menjadi labirin tanpa batas dan menempatkan jalan keluar pada posisi yang hampir utopis.

Keadaan inilah yang menjadi isu utama lahirnya gerakan reformasi 1998 untuk meminta pertanggung jawaban atas keadaan yang terjadi. Reformasi 1998 berhasil menumbangkan rezim Orde Baru dan memaksa Presiden untuk turun dari jabatannya. Inlah gerakan yang di klaim sebagai gerakan rakyat dan diharapkan membawa angin segar bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Masa reformasi kemudian menyeret bangsa ini memasuki masa transisi. Isu utama yang menjadi frame perubahan adalah sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi, sistem politik dari otoriter ke demokrasi dan sistem ekonomi dari patron client ke rule based market economy.

Berbagai perubahan kemudian mulai tampak pada masa ini. Pers dibebaskan, partai politik yang menjadi peserta pemilu pun bertambah, otonomi daerah serta pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung. Namun apakah perubahan yang terjadi pada masa reformasi merupakan sebuah perubahan kearah yang positif? Apakah perubahan tersebut mencerminkan demokratisasi? Ataukah perubahan kearah desentralisasi akan memunculkan pertarungan baru bagi segelintir orang untuk menjadi penguasa di daerahnya masing- masing? Yang dalam hal ini hanya memunculkan raja- raja kecil di setiap daerah. Dan apabila ini terjadi tentu saja akan menarik kembali bangsa ini kepada ranjau transisi yang memungkinkan tidak berjalannya cita- cita reformasi sesuai yang diharapkan.

Hal ini akan terjawab dengan sendirinya apabila kita telah mengetahui hakikat sebuah system sesungguhnya. Perlu di ketahui bahwa reformasi merupakan perubahan sistem. Dan sebuah system tidak akan pernah sampai pada tujuannya tanpa seseorang yang mampu menjalankannya. Disinilah peran seorang pemimpin ditentukan. Apakah pemimpin hari ini merupakan seorang pemimpin yang mampu membawa bangsa ini ke tujuan reformasi yang dicita- citakan? Apakah kemudian yang dimaksudkan dengan pemimpin? Dan apakah pemimpin dapat lahir dari sebuah pemilihan umum? Kalau iya, model pemilihan umum seperti apa? Dan harus dimulai dari mana untuk mewujudkannya?

Inilah latar belakang sebenarnya dari bangsa ini. Bangsa ini telah sekian lama berdebat tentang bagaimana sistem ketatanegaraan yang baik, akan tetapi melupakan hal yang paling penting. Yaitu, bagaimana menciptakan seorang figur pemimpin yang dapat menjalankan sistem tersebut. Karena tanpa pemimpin sistem akan berjalan dengan sia- sia.

Pemimpin dalam Perspektif Filosofis

Apakah yang dimaksud dengan pemimpin? Ini merupakan pertanyaan awal yang jawabannya tentu saja membahas hakekat pemimpin yang sebenarnya. Pengertian tentang pemimpin dapat kita tinjau melalui segi etimologi dan terminologinya.

Pemimpin berasal dari kata dasar “pimpin” yang berarti bimbing atau tuntun[2]. Dalam hal ini kata pimpin meniscayakan adanya dua pihak, yaitu yang dipimpin dan yang memimpin. Dan adanya pola interaksi yang terjadi antara yang dipimpin dan yang memimpin. Istilah kepemimpinan merupakan sebuah istilah yang lahir berdasarkan kata pimpin tersebut. Oleh karena itu kepemimpinan lebih berarti sebagai kemampuan seorang pemimpin untuk memepengaruhi pihak yang dipimpin agar melakukan tindakan- tindakan yang ditentukan oleh sang pemimpin.

Banyak fenomena yang menjadi tema- tema diskursus tentang kepemimpinan. Masalah inipun kemudian akan menjadi sebuah pembahasan yang cukup menarik apabila kita menelaah setiap tingkah laku manusia menyikapi persoalan kepemimpinan ini. Seperti misalnya tingkah laku sekelompok masyarakat yang kemudian rela menyerahkan semua apa yang dimilikinya demi penghormatan kepada sang pemimpin. Mereka bahkan menempatkan seorang pemimpin pada status sosial yang sangat tinggi dibandingkan dengan manusia- manusia yang lain.

Namun ada juga sekelompok masyarakat yang menganggap seorang pemimpin tidak lebih dari sebuah posisi tertentu yang lahir dari kesepakatan bersama seluruh anggota masyarakat. Dalam perspektif ini pemimpin kemudian tidak lebih dari pelimpahan tugas dan tanggung jawab yang dihasilkan dari sebuah perjanjian antara seorang individu sebagai calon pemimpin dengan sekelompok masyarakat.

Dilain pihak, ada juga orang-orang yang tidak sepakat dengan adanya pemimpin dalam bentuk apapun. Orang- orang seperti ini kemudian berpendapat bahwa titik masalah yang lahir dari kehidupan bersama karena adanya pemimpin. Jadi pemimpin dinilai sebagai sumber masalah dalam sebuah bentuk kehidupan bersama. Pandangan ini sebenarnya belum pernah terwujud dalam sebuah bentuk kehidupan yang riil dalam sejarah kehidupan manusia. Sejarah belum pernah mencatat adanya bentuk kehidupan yang seperti ini. Ide yang seperti ini kemudian lahir dari orang- orang yang merasa resah dengan konsep kepemimpinan dimana ia berada.

Dari penjelasan ini kita dapat melihat tiga pandangan besar yang berbicara tentang kepemimpinan. Ada yang menyatakan bahwa pemimpin itu merupakan sebuah keharusan dari bermasyarakat. Ada berpendapat bahwa pemimpin itu tidak lebih dari hasil kesepakatan bersama. Dan adapula yang menganggap bahwa pemimpin sama sekali tidak dibutuhkan bahkan harus dihilangkan dalam pola kehidupan bersama.

Kepemimpinan merupakan sebuah term yang sangat erat kaitannya dengan manusia dan masyarakat. Manusia sebagai pihak yang menyandangnya sedangkan masyarakat sebagai objek dimana kepemimpinan itu berlaku. Dalam hal ini kepemimpinan merupakan sebuah hal yang tidak akan terpahami tanpa membahas kedua hal tersebut. Dan perbedaan pandangan tentang kepemimpinan sebenarnya lahir dari perbedaan pandangan dalam melihat masyarakat.

Menurut Murtadha Muthahhari, ada empat paradigma besar tentang masyarakat[3] :
  1. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa masyarakat sebenarnya tidak ada, karena masyarakat merupakan sebuah istilah sintesis[4]. Sedangkan dalam hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain tidak pernah saling melebur. 
  2. Kedua, adalah pandangan yang berpendapat bahwa sintesis yang terjadi dalam masyarakat terjadi. Tapi bukanlah sintesis fisik. Melainkan sistesis fungsi antara satu individu dengan individu yang lain. Sebagaimana dalam sebuah mesin, berbagai perangkat di dalamnya tidak pernah kehilangan identitasnya ketika tergabung di dalam mesin. Akan tetapi yang terjadi penggabungan fungsi antara berbagai perangkat ketika tergabung dalam sebuah mesin. 
  3. Ketiga, pandangan yang meyatakan bahwa masyarakat merupakan sebuah senyawa sejati. Dalam pandangan ini individu merupakan hasil reaksi dari masyarakat. Bahwa individu tidak lebih dari penerjemahan hak- hak kemasyarakatan dalam ranah soisal. Keempat, bahwa individu dan masyarakat sama- sama merupakan dua buah unsur yang sejati. Masyarakat merupakan sebuah bentukan yang lahir sebagai pengaktualan jiwa bersama dari individu. Keberadaan masyarakat merupakan sebuah hal yang bersifat fitrawi dan tidak terlepas dari eksistensi individu itu sendiri.
  4. Keempat, bahwa masyarakat merupakan sebuah hal yang fitrawi ada karena adanya individu.
Pandangan pertama menyatakan bahwa masyarakat itu tidak ada yang ada hanyalah individu- individu. Oleh karena itu menurut pandangan ini system kepemimpinan dalam sebuah masyarakat bukanlah merupakan sebuah hal yang niscaya. Karena keberadaan pemimpin dalam masyarakat merupakan sebuah hal yang malah membatasi dan menghilangkan hak- hak kepribadian yang dimiliki oleh manusia. Hilangnya hak-hak pribadi tersebut secara langsung akan menghilangkan peran dari setiap individu. Yang menyebabkan individu sama dengan tidak ada. Dan tidak adanya individu meniscayakan pula tidak adanya masyarakat. Pandangan inilah yang kemudian terjewantahkan dalam bentuk demokrasi liberal.

Bagi Hegel, manusia memiliki perasaan untuk diakui oleh orang lain[5]. Perasaan ingin di akui ini sebenarnya muncul dari bagian jiwa manusia yang disebut sebagai gairah[6]. Dan gerak masyarakat ini sebenarnya didasarkan oleh perasaan ingin diakui ini. Bahwa manusia hidup berkelompok, malakukan perang dan berbagai macam bentukan sejarah yang terbentuk sepanjang cerita tentang kehidupan manusia itu lahir karena adanya hal ini. Oleh karena itu Francis Fukuyama, menyatakan bahwa akhir dari sejarah perkembangan manusia merupakan sebuah masyarakat dimana hak-hak individu itu dapat terjamin dengan sendirinya yang disebut dengan konsep demokrasi liberal.

Dalam konsep demokrasi liberal, hak individu diberikan kebebasan sebebas- bebasnya. Maka, jika sebuah masyarakat yang berdiri di atas dasar demokrasi liberal memiliki pemimpin. Pemimpin tersebut pastilah otoriter, karena yang ada lebih dahulu adalah hak- hak individu. Dan pemimpin tersebut pastilah mendahulukuan hak individunya. Dan akan membunuh hak- hak individu yang lain. Oleh karena, demokrasi liberal hanya akan mengarahkan pada sabuah konteks kemasyarakatan tanpa pemimpin.

Dalam pandangan kedua, bahwa masyarakat terbentuk tidak lebih dari sebuah sistem yang lahir karena adanya perjanjian bersama antara beberapa individu untuk menjalani kehidupan bersama. Dalam pandangan inipun pemimpin lahir karena hal yang sama. Pandangan inilah yang mendasari konsep lahirnya sistem Negara berdasarkan kontrak politik, sebagaimana yang dipaparkan oleh John Locke[7].

Banyak Negara- Negara di dunia yang menempatkan falsafah ini menjadi dasar system kepemimpinannya. Dasar inilah yang menyebabkan adanya system pemilihan umum untuk memilih pemimpin tertinggi dalam sebuah Negara. Akan tetapi kelemahan konsep ini bahwa dalam hubungan antara individu pada konteks kemasyarakatan tidak lebih dari sebuah perjanjian yang lahir untuk hidup bersama. Akan tetapi dalam realitas yang terjadi konsep pemilihan umum tidak lagi mendasarkan pada adanya falasafah perjanjian hidup bersama tersebut.

Hal ini dikarenakan tidak adanya sebuah jaminan yang bisa menjadi pelegitimasi bahwa konsep perjanjian bersama itu meupakan sesuatu yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Jadi ketika pemimpin itu kemudian menduduki kekuasaannya dialah yang kemudian membuat aturan- aturan untuk megendalikan kehidupan sosial kemasyrakatan yang sesuai dengan kepentingannya. Karena hukum dalam segala bentuknya merupakan alat pelegitimasi kepentingan[8]. Dan salah satu fungsi hukum sebagai tools of social engineering[9]. Merupakan sebuah hal yang sama saja dengan pandangan pertama, karena masyarakat merupakan sebuah sistem yang tetap ada sebagai sebuah fungsi untuk melegitimasi hak individu. Kepemimpinan dalam pandangan ini merupakan sebuah hal yang lahir dari kesepakatan bersama setiap anggota masyarakat.

Dalam pandangan ketiga bahwa kepemimpenan merupakan sebuah otoritas mutlak dalam sebuah sistem kemasyarakatan. Sebuah otoritas yang lahir dari sebuah konsep tentang masyarakat sebuah bentukan senyawa sejati yang kemudian menjadi pelegitimasi utama munculnya hak- hak individu. Dan pemimpin merupakan represetasi langsung dari sistem kemasyarakatan ini. Pandangan inilah yang kemudian mendasari terbentuknya Negara- Negara sosialisme. Dalam konsep Negara sosialis segala bentuk hak yang ada merupakan hak Negara. Dan seorang pemimpin merupakan orang yang paling memiliki hak untuk mendistribusikan hak tersebut sampai pada tataran individu.

Akan tetapi konsep inipun tetap terbentur pada masalah konsep pertanggung jawaban. Dalam sistem Negara sosialisme tidak adanya bentuk pertanggung jawaban yang jelas yang bisa menjadi pelegitimasi adanya konsep keadilan dalam distribusi hak tersebut. Inlah hal utama yang menyebabkan Negara- nagara sosialisme yang pernah ada akan berujung pada konsep totalitarianisme.

Dalam pandangan keempat bahwa masyarakat merupakan sebuah hal yang fitrawi ada karena adanya individu. Dalam pandangan ini bahwa masyarakat merupakan sebuah pengaktualan jiwa bersama yang dimiliki oleh setiap individu. Dan pemimpin yang lahir dari konsep ini merupakan sebuah pemimpin yang kemudian menyadari adanya konseo jiwa bersama ini. Pandangan ini merupakan pandangan konsep kenegaraan wilayah- al faqih yang dirumuskan oleh ayatollah Khomeini[10]. 

Dalam pandangan ini bahwa system kepemimpinan merupakan sebuah tanggung jawab spiritual yang lahir sebagai konsekuensi kemanusiaan. Bahwa manusia diciptakan sebagai mahluk yang berpotensi menjadi pemimpin alam semesta. Kehidupan manusia baik secara individu maupun secara social kemasyarakat merupakan sebuah hal yang tidak lepas dari permasalahan fitrawi penciptaan manusia itu sendiri. Oleh karena itu masalah kepemimpinan dalam kehidupan social perlulah memasukkan nilai- nilai spiritual sebagai aspek penggerak dan sebagai falasafah dasar pertanggung jawaban kepemimpinan secara transcendental. Maka seorang pemimpin haruslah memiliki kesadaran eskatologis.

Kesadaran eskatologis akan menciptakan kesadaran bagi seorang pemimpin bahwa antara individu dan masyarakat bukanlah merupakan suatu hal yang terpisah dalam perspektif penciptaan. Dan seorang pemimpin yang lahir tanpa adanya kesadaran eskatologis akan tetap menganggap bahwa ada keterpisahan antara hak individu dan hak masyarakat. Dan secara fitrawi pula dia akan lebih memprioritaskan hak individu dari pada hak masyarakat.
Dalam pandangan ini pun pemimpin ada dua bentuk. Pemimpin sosial dal pimipin spiritual. 

Pemimpin sosial merupakan pemimpin yang memiliki fungsi untuk menjalankan permasalahan sosial kenegaraan. Dan pemimpin spiritual merupakan pemimpin tertinggi yang bertanggung jawab secara transendental mengenai arah gerak kehidupan bersama. Dalam sistem ini konsep kepemimpinan menjadi hierarki. Pemimpin sosial berada di bawah pemimpin spiritual. Hirarki dalam hal ini merupakan jalur pertanggung jawaban. Bahwa pemimpin sosial bertanggung jawab kepada pemimpin spirirtual. Tapi hirarki tidak dalam konteks pemilihan pemimpin. Pemimpin sosial dipilih melalui sebuah pemilihan umum. Sedangkan pemimpin spiritual dipilah melalui sebuah mekanisme khusus berupa penunjukan langsung dari pemimpin spiritual sebelumnya. Konteks kepemimpinan spiritual dalam hal ini malakukan peran seperti konteks kenabian dan imam.

Dasar pandangan ini adalah adanya kesamaan pemikiran tentang arah gerak kemasyarakatan. Syaratnya bahwa system kepemimpinan ini tidak dibentuk berdasarkan paksaan langsung sang pemimpin spiritual. Akan tetapi baru bisa terwujudkan atas dasar pilihan sadar masyarakat untuk menyatakan bahwa pemimpin spiritual memang pantas untuk berada pada posisi tersebut. Oleh karena itu, konsep kepemimpinan ini merupakan konsep kepemimpinan yang lahir dari sebuah konsep kemasyarakatan dimana setiap anggota masyarakatnya memiliki kesadaran eskatologis. Pemilihan umum untuk memilih pemimpin social pun tetap akan menjamin terpilhnya seorang pemimpin yang berkualitas. Karena system yang terbangun merupakan sebuah sistem kemasyarakatan yang memiliki konsep kesadaran yang tinggi. Iran terkenal sebagai Negara yang memiliki tingkat kesadaran politik paling tinggi. Hal ini terbangun karena sistem kehidupan di iran merupakan sebuah system kehidupan yang berasal dari sebuah konsep revolusi paradigmatik. Dan sistem pun berjalan atas dasar mencerdasakan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, pemimpin sosial yang dipilah melalui pemilihan umum dipilah oleh masyarakat yang memiliki tingkat kesadaran politik paling tinggi.

Maka tidak perlu diragukan lagi seorang pemimpin yang mandiri, berkualitas dan bermartabat akan lahir dari sistem kemasyarakatan yang mendasarkan geraknya kepada peningkatan intelektual dan spiritualitas.

Pemilihan umum; sebuah solusi kepemimpinan atau tidak?

Pemilihan umum sebenarnya hanyalah merupakan sebuah sistem untuk memilih seorang pemimpin. Dalam hal ini paradigma kita dalam memandang pemilihan umum bukanlah sebagai sebuah hal yang bersifat solutif. Karena permasalahan sebenarnya bukanlah terletak pada pemilihan umum itu sendiri. Akan tetapi kepada individu- individu yang menggerakkan sistem tersebut.

Pemilihan umum akan menjadi sebuah makanisme yang dapat melahirkan seorang pemimpin yang mandiri, berkualitas dan bermartabat apabila pemilihan umum berada pada sebuah konteks kemasyarakatan yang memiliki tingkat kesadaran politik yang tinggi. Di Indonesia misalnya, pemilihan umum dalam bentuk apapun tidak akan pernah mewujudkan seorang pemimpin yang mampu membawa bangsa ini sampai tewujudnya cita- cita reformasi apabila warga masyarakat yang menjadi peserta pemilihan umum bukanlah orang yang memiliki tingkat kesadaran politik yang tinggi. Yang terjadi malah masyarakat tidak bisa menilai sendiri manakah pemimpin yang memang betul- betul dibutuhkan oleh bangsa ini. Karena tujuan gerak dari sistem sangat tergantung dari aktor yang menjalankannya.

Pembangunan konteks kesadaran masyarakat ini haruslah dimulai dari reformasi konsep pendidikan. Karena posisi pendidikan dalam sebuah Negara sebenarnya sebagai ranah penanaman ideologi. Dan tingkat kesadaran politik masyarakat pada sebuah Negara dapat kita lihat pada konsep pendidikannya. Apabila masyarakat memiliki sebuah konsep pendidikan yang bagus, maka pastilah memiliki masyarakat dengan tingkat kesadaran politik yang tinggi. Hal ini dapat kita lihat pada Negara- Negara maju yang memiliki konsep pendidikan yang bagus, misalnya iran yang menerapkan pemerataan pendidikan samapai masyarakat kelas terbawah. Dengan hal ini pemilihan umum dapat lahir sebagai sebuah sistem yang solutif mengenai masalah kepemimpinan ini.

-----------------------------------------------------------------

Footnote :
[1] Samuel P. Huntington, 2003, Tertib Politik, halaman 11
[2] Inu Kencana Syafi’ie, 2003, Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia, halaman 1
[3] Murtadha Muthahhari,1993, Masyarakat dan Sejarah, halaman 20
[4] Sintesis adalah peleburan dua unsur atau lebih dan menghasilkan unsur baru. Dimana pada saat peleburan tersebut unsur melebur saling melepaskan identitasnya masing- masing. Sehingga menghasilkan sebuah unsur baru yang memiliki ciri- ciri yang berbeda dari yang pertama. (Murtadha Muthahhari, 2001, Manusia Dan Alam Semesta, halaman 115)
[5] Pandangan ini merupakan pandangan Hegel yang dipaparkan oleh Francis Fukuyama. (Francis Fukuyama, 2004, The End of History and The Last Man, halaman 8)
[6] Plato membagi tiga bentuk jiwa, nafsu(hasrat), akal, dan gairah (thymos). Pandangan ini dipaparka oleh plato dalam Republica. (G.C Filed, A Philosophy of Plato)
[7] G. Sabine, A History of Political Theory
[8] Pramudya, 2007, Hukum Itu Kepentingan
[9] Ahmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum, halaman 23
[10] Ayatullah Khomeini, 1974, Wilayah Al- Faqih

Comments

Popular posts from this blog

PRO KONTRA MANTAN TERPIDANA JADI CALEG

Kesalahan Berfikir Ilmiah (Bagian 3) : Fallacy of Misplaced Concreteness

Kesalahan Berfikir (Bagian 2) : Fallacy of Retrospective Determinism