Akhir dari Evolusi Negara dan Peran Hukum Tata Negara Sebagai Muara Akhir Evolusi Pemikiran Tentang Negara

Diskursus tentang ketatanegaraan, khususnya Hukum Tata Negara memang merupakan sebuah hal yang paling substansial ketika kita berbicara tentang bagaimana Negara membentuk dirinya, membagi kewenangannya serta menjalankannya demi terwujudnya cita-cita Negara. Cita-cita yang seharusnya oleh semua warga Negara dijadikan alasan untuk sepakat pada konsep pemerintahan sebuah Negara.
Posisi Hukum Tata Negara memang merupakan sebuah posisi puncak, atau dapat juga disebut sebagai akhir dari setiap perdebatan tentang bagaimana seharusnya Negara menjalankan fungsinya. Ini adalah alasan penting yang lahir dari konsekuensi bahwa hukum seharusnya dijadikan sebagai patokan akhir dari setiap perdebatan perspektif yang timbul di masyarakat. Termasuk bagaimana seharusnya masyarakat memandang Negara sebagai sebuah entitas yang bekerja diluar kekuasaannya secara individu.
Dalam posisi ini, Hukum Tata Negara terus dituntut untuk melakukan evaluasi ataukah terus berevolusi untuk menyempurnakan kajiannya. Hal ini ditujukan agar hukum tata Negara dapat terus menerus hadir sebagai kajian yang bisa menjawab keresahan masyarakat tentang Negara. Keresahan itu lahir karena ketidakpuasan memandang sesuatu dan ketidakpuasan lahir sebagai konsekuensi berkembangnya cara berfikir. Maka, tuntutan utama yang harus dihadapi oleh diskursus hukum tata Negara saat ini adalah bagaimana menciptakan tema-tema yang dinamis yang dapat mengimbangi perkembangan cara berfikir masyarakat dalam sebuah Negara.
Sebuah Negara yang didalamnya diskursus hukum tata Negara tidak berjalan dinamis, tentu saja sangat rentan dengan terjadinya krisis legitimasi dari rakyat kepada Negara. Tidak ada pemerintahan di dunia ini yang berharap bahwa rakyat yang dipimpinnya akan menemukan titik kulminasi dalam melihat Negara dan pemerintahannya. Ini bisa jadi merupakan mimpi buruk bagi pemerintahan, dimana satu-satunya jalan untuk menciptakan stabilitas adalah dengan memaksakan tegaknya otoriterianisme atau tirani dalam sebuah Negara.
Arah evolusi Negara hari ini, telah melewati fase itu. Sekarang perkembangan masyarakat sudah lebih cerdas. Hari ini, masyarakat dapat dengan mudah menemukan referensi untuk menganalisis ciri-ciri otoriterianisme. Tidak ada lagi celah dalam cara berfikir masyarakat hari ini yang bisa dilucuti untuk mensisipkan hegemoni tirani pemerintahan. Ini tentu saja sebuah era yang sudah sangat berbeda jauh dengan bagaimana Negara pada masa awal kemunculannya. Yang mana, penguasa masih bisa menyatukan dirinya dengan Negara serta memiliki kekuasaan absolut mutlak dalam menjalankan pemerintahannya. Hari ini, Negara adalah entitas yang berbeda, dimana dalam posisinya tersebut seorang kepala Negara pun harus tunduk dan bekerja untuk Negara.
Mungkin fase ini dapat disebut sebagai sebuah fase transformasi Negara kedalam wujudnya yang metafisik. Dimana kita tidak lagi menganggap Negara adalah representase dari satu person atau tidak adalagi person yang dapat menjadi representase Negara. Melainkan Negara hari ini lahir dalam wujudnya sebagai sebuah sintesis cita-cita bersama rakyat. Cita-cita bersama yang kemudian dimanifestasikan dalam wujudnya berupa kewenangan dan kewenangan kemudian memanifestasikan dirinya kedalam bentuk konstitusi yang kemudian mengatur tentang perwujudan lembaga Negara sebagai organ yang bertugas melaksanakan aktivitas kenegaraan. Aktivitas ini adalah aktivitas untuk mewujudkan cita-cita Negara, yaitu alasan utama masyarakat membentuk Negara apabila kita sepakat dengan teori pembentukan Negara berdasarkan pada due contract social.
Disinilah tantangan utama untuk diskursus Hukum Tata Negara, dimana hukum tata Negara dituntut hadir tidak dalam wacana penggulingan pemerintahan akibat dari diterapkannya otoriterianisme dan tirani dalam sebuah Negara. Akan tetapi, Hukum Tata Negara kini harus hadir dengan diskursus yang lebih substansial tentang bagaimana mewujudkan sebuah bentuk Negara ideal. Hal ini, tentu saja memaksa hukum tata Negara meninggalkan pola-pola empirikalnya untuk kemudian masuk pada ranah yang lebih metafisik. Ranah dimana masyarakat hari ini menempatkan perspektifnya dalam mendefinisikan Negara.
Konsep ideal Negara tentu saja bukanlah sebuah kesimpulan reduksionis yang harus lahir dari setumpuk data empirikal lembaga sosial masyarakat hari ini. Pendapat ini juga seharusnya berlaku apabila kita melihat bagaimana kondisi Indonesia hari ini. Tidak ada satupun yang bisa menjamin bahwa data-data empirikal tersebut adalah sebuah data yang disusun dimana penyusunnya mampu terhindar dari Fallacy of Dramatic Instance. Tidak ada yang salah dengan penelitian empirikal, akan tetapi data empiris hanya bisa “mendeskripsikan” sebuah fenomena tertentu, di tempat tertentu dalam pada waktu tertentu. Bukan untuk menarik sebuah hukum universal dan berbicara untuk memprediksikan masa depan sesuatu.
Mau tidak mau, kita harus kembali membuka beberapa catatan lama sejarah tentang ideologi. Apa yang David McLellan katakan sebagai sebuah konsep yang mengusik ide-ide yang paling substansial manusia tentang Negara. Dan ini seharusnya menjadi tahapan yang penting untuk melihat bagaimana ide-ide tentang Negara kembali dipertanyakan khususnya di Indonesia.
Di Indonesia, peran hukum tata Negara seharusnya diposisikan sebagai kajian utama dalam setiap pembelajaran hukum. Namun sepertinya animo masyarakat terhadap kajian ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan bagaimana pandangan mahasiswa fakultas hukum terhadap bidang hukum lain seperti pidana dan perdata. Mungkin karena belum ada profesi sebagai ahli hukum tata Negara selain menjadi dosen di fakultas hukum atau karena hukum tata Negara tidak punya aspek kasus yang langsung berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang paling personal, seperti pidana dan perdata.
Namun di satu sisi, perkembangan politik di Indonesia serta bagaimana fenomena keadilan di Indonesia di representasekan oleh lembaga-lembaga hukum, justru semakin memicu tingginya tingkat apatisme masyarakat dalam memandang Negara. Bagi pemerhati hukum tata Negara yang sadar, fenomena ini adalah fenomena transisi pemikiran ke sebuah pertanyaan besar masyarakat tentang “bagaimana seharusnya bentuk Negara yang ideal bagi Indonesia”? dan disini, para pemerhati hukum Tata Negara ataukah ilmuwan di bidang hukum tata Negara dituntut untuk mengahdirkan jawaban yang memuaskan. Yakin saja, akan tiba masa dimana rakyat Indonesia kembali mendefinisikan ulang Indonesia sebagai sebuah Negara.
Transisi pemikiran ini adalah momentum yang bagus bagi perkembangan pemikiran hukum tata Negara di Indonesia. Namun, di satu sisi juga dapat menjadi bencana untuk Indonesia. Karena apabila ternyata telah tiba masa dimana masyarakat telah berfikir untuk melakukan redefinisi Indonesia sebagai Negara, sedangkan tidak ada satupun jawaban yang lahir dari para ahli hukum tata Negara, mungkin Indonesia akan mengalami titik terendah kepercayaan masyarakat dalam sejarahnya. Hal mana akan memicu terjadinya gelombang people power yang sangat besar untuk memaksa Indonesia melakukan referendum tentang hal yang paling substansial dari Negara, yaitu mengadakan kontrak sosial untuk menentukan sepakat atau tidaknya masyarakat untuk mendirikan Indonesia. Ini akan menjadi sebuah kecelakaan sejarah, dan tentu saja kita tidak ingin Indonesia mengalami nasib yang sama dengan Uni Soviet.
Untuk itu, seharusnya ide-ide cerdas dapat lahir dari para mahasiswa hukum dan para peneliti serta para akademisi di bidang hukum tata Negara tentang bagaimana seharusnya Indonesia menjadi sebuah Negara yang ideal. Tentu saja ini merupakan sebuah tantangan berat, karena dalam posisinya sebagai sebuah ilmu pengetahuan, mungkin akan menjadi hal yang sangat sulit (tapi bukan mustahil) untuk menghadirkan sebuah konsep kenegaraan yang utuh dan komperhensif tentang Indonesia. Namun, kita masih bisa melakukan upaya pembenahan yang berangkat dari pembenahan partikulir terhadap organ-organ Negara sehingga menciptakan sebuah bangunan utuh tentang Indonesia. Seperti dokter bedah plastik yang tidak pernah menciptakan manusia yang gagah atau cantik, akan tetapi upaya untuk memperbaiki organ tubuh sampai pada terpenuhinya standarisasi harapan tentang kecantikan adalah sebuah hal yang seharusnya mendapatkan apresiasi yang tinggi.
Hal yang sangat disayangkan, bahwa pola pengkajian yang saat ini diterapkan pada model pembelajaran hukum tata negara di Indonesia sepertinya adalah faktor utama yang membunuh kesempatan untuk lahirnya ide-ide cerdas yang berbicara tentang bagaimana Indonesia sebagai Negara ideal. Saya teringat beberapa tahun lalu, saat saya harus menyetor formulir pengajuan rencana judul skripsi. Setelah berdebat panjang tentang rencana judul skripsi saya dengan Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara di kampus, akhirnya Sekretaris Bagian tersebut menyetujui rencana judul saya untuk diteruskan ke Wakil Dekan 1 untuk disetujui. Hal yang menarik ternyata bahwa Wakil Dekan 1 saya menolak rancangan judul tersebut dengan menambahkan sebuah catatan di bagian bawah halaman formulir tersebut yang berbunyi “ini judul disertasi”.
Saya tentu saja sangat kecewa, karena saya sudah merencanakan judul tersebut sejak saya masih duduk sebagai masasiswa semester tiga. Sebuah penelitian yang menjadi harapan yang telah disiapkan sejak lama, ternyata harus tertolak dengan alasan yang sangat konyol yaitu dianggap sebagai judul disertasi. Konyol karena saat itu saya masih terdaftar sebagai mahasiswa S1 dan tentu saja saya mengajukan rancangan judul bukan untuk menyelesaikan program S3, tapi untuk menyelesaikan studi saya di S1.
Saya kemudian bertanya, bahwa kenapa judul ini harus ditolak. Wakil Dekan 1 itu mengatakan bahwa penelitian ini adalah penelitian model S3. Rancangan judul saya dianggap telah masuk pada ranah penelitian S3, yaitu penelitian filosofis. Meskipun pada kenyataannya, saya hanya membuat rancangan judul pada diskursus perbandingan hukum tata Negara. Saya tidak mengerti, apakah saya yang overlap atau Wakil Dekan 1 itu ternyata yang sama sekali tidak mengerti filsafat. Namun, saya mencoba bijak dihadapan mereka yang memiliki kekuasaan, dengan berfikir bahwa mungkin saja mereka tidak mampu untuk mengujinya.
Saya kurang tahu apakah hal ini juga terjadi di fakultas hukum lainnya. Namun, dikotomi cara berfikir dimana seorang mahasiswa S1 dituntut untuk melakukan penelitian sampah (penelitian tentang putusan yang sudah in kracht van gewijsde) dan tidak boleh melakukan penelitian yang bersifat toeritik ataukah filosofis tentu saja adalah bentuk pembunuhan cara berfikir yang dilakukan oleh lembaga pendidikan hukum. Atau mungkin mereka tidak pernah mengerti bahwa diskursus pada ranah filosofis adalah diskursus paling dasar pada setiap cabang ilmu pengetahuan. Selama ini masih terjadi, jangan pernah berharap bahwa Indonesia akan melahirkan pemikir-pemikir hukum tata Negara yang cemerlang. Kalaupun ada, pasti bukan karena pengaruh sistem pendidikan hukum yang saat ini diterapkan.
Bobroknya ssstem pendidikan hukum serta ketidak becusan para pengelola pendidikan hukum, khususnya pendidikan Hukum Tata Negara akan menjadi faktor penentu mengapa hari ini diskursus ini semakin ditinggalkan. Hari ini Kelsenisme masih dominan menjadi mahzab terbesar kajian Hukum Tata Negara. Namun, seberapa besar perhatian mahasiswa hukum tata Negara terhadap pemikiran Hans Kelsen? Dan seberapa pahamkah mereka tentang perspektif Hans Kelsen dalam melihat hukum? Hal ini kita bisa lihat dari berapa jumlah produk pemikiran hukum tentang Hukum Tata Negara yang hadir dibandingkan produk-produk ilmiah dibidang hukum lain seperti perdata, pidana dan hukum internasional? tentu saja tidak seperti apa yang diharapkan.
Tulisan ini bukan untuk mengkritik bagaimana pengelolaan pendidikan hukum, namun lebih dari pada itu, bahwa ada sebuah harapan besar dari masyarakat kepada para ahli hukum tata Negara untuk dapat melahirkan sebuah konstruksi ketatatnegaraan yang ideal untuk Indonesia. konstruksi ketatanegaraan yang tentu saja berangkat dari paham keindonesiaan, entah bagaimana caranya, apakah harus dengan cara menjiplak konsep ketatanegaraan negara-negara maju, ataukah menciptakan sebuah gagasan orisinil yang berangkat dari fenomena masyarakat Indonesia. Namun apapun itu, tujuan bernegara ini harus tercapai sebelum masyarakat berfikir untuk melakukan redefinisi tentang Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

PRO KONTRA MANTAN TERPIDANA JADI CALEG

Kesalahan Berfikir Ilmiah (Bagian 3) : Fallacy of Misplaced Concreteness

Kesalahan Berfikir (Bagian 2) : Fallacy of Retrospective Determinism