MEMBEDAH PANDANGAN HANS KELSEN TENTANG DEMOKRASI

Dalam bukunya yang berjudul The General Theory of Law and State, Kelsen membahas ide tentang demokrasi sebagai sebuah manifestasi dari ide tentang kebebasan manusia. Menurut Kelsen, pengelompokan sistem pemerintahan negara yang merupakan cara pembuatan tatanan hukum menurut konstitusi terbagi atas dua kelompok yaitu Demokrasi dan Otokrasi.
Perbedaan paling mendasar antara Demokrasi dan Otokrasi menurut Kelsen terletak pada ide kebebasan politik. Yang memiliki ide kebebasan politik adalah orang yang tunduk kepada suatu tatanan hukum dan turut serta dalam pembentukannya. Seseorang dianggap memiliki kebebasan bila apa yang “harus” dia lakukan menurut tatanan sosial berhimpitan dengan apa yang “hendak” dia lakukan. Maka dari itu, wujud ideal dari Demokrasi adalah ketika “kehendak” yang dinyatakan dalam tatanan hukum negara identik dengan kehendak dari para subyek tatanan hukum tersebut.
Lawan dari Demokrasi dalam pengertian ini adalah Otokrasi. Sebagai sebuah bentuk penegasian dari prinsip dasar Demokrasi. Dalam Otokrasi, subyek tidak disertakan dalam pembentukan tatanan hukum negara dan keselarasan antara tatanan hukum dan kehendak subyek sama sekali tidak terjamin.
Kelsen meletakkan ide dasar tetang kebebasan sebagai sebuah prinsip utama dalam menentukan apakah sebuah negara dapat dikatakan sebagai sebuah tatanan yang mengimplementasikan demokrasi sebagai sebuah sistem atau tidak. Ide kebebasan subyek secara individu inilah yan kemudian menurut Kelsen adalah substansi dasar dari segala bentuk penilaian dan penghargaan negara terhadap individu sampai pada legitimasi eksistensial individu dihadapan negara.
Konteks dimana rakyat tidak terdiri dari satu orang, melainkan rakyat adalah sebuah terminologi kejamakan, kemudian membuat ide kebebasan tersebut tidak dapat diartikan sebagai kebebasan atas keterlepasan dari semua bentuk ikatan, termasuk hukum. Ikatan dalam sebuah Tatanan sosial yang diciptakan negara melalui sistem hukum adalah sebuah keniscayaan yang kemudian memberikan pemaknaan baru terhadap ide kebebasan tersebut. Bahwa ide kebebasan subyek yang dimaksudkan dalam sebuah negara Demokrasi adalah ide kebebasan politik. Ide kebebasan politik hanya dapat terwujud apabila ikatan yang mucul dari sebuah tatanan sosial selaras dengan kehendak individu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa semakin banyak individu yang selaras kehendaknya dengan sebuah tatanan sosial, maka semakin demokratis tatanan sosial tersebut.
Prinsip Mayoritas
Indikator Demokrasi yang menjadikan ide kebebasan politik sebagai substansinya, kemudian menuntut bahwa sebuah tatanan sosial harus dibuat dengan keputusan bulat dari semua subyeknya. Kehendak kelompok (volunte generale) harus tetap selaras dengan kehendak para subyek (volunte de tous). Namun konteks negara modern dengan jumlah penduduk yang lebih besar jika dibandingkan dengan model negara yunani kuno dan romawi menjadikan peluang untuk menciptakan sebuah tatanan yang mendapatkan dukungan secara bulat dari setiap subyek yang berada di dalamnya menjadi semakin sempit. Maka dari itu, legitimasi dari sebuah tatanan sosial yang berlaku adalah prinsip mayoritas, dimana sebuah tatanan sosial yang berlaku pasti disetujui oleh mayoritas subyek.
Apabila sebuah tatanan sosial yang berlaku tidak disetujui oleh mayoritas subyek, maka perubahan terhadap tatanan sosial tersebut pasti akan terjadi. Perubahan untuk kembali menata tatanan sosial tersebut agar selaras dengan kehendak sebagian besar subyek.
Kelsen berpandangan bahwa karena kebebasan politik berarti kesesuaian antara kehendak individu dan kehendak kelompok yang dinyatakan dalam tatanan sosial, maka prinsip mayoritaslah yang menjamin derajat kebebasan politik tertinggi yang mungkin diperoleh dalam masyarakat.
Analisis
Dari premis diatas, kita bisa melihat bagaimana Hans Kelsen sangat dipengaruhi oleh filsafat eksistensialisme, dimana eksistensi manusia didasarkan pada kebebasan. Seperti proposisi yang paling terkenal dari filsuf eksistensialisme Jean Paul Sartre yang menyatakan bahwa Human is condemned to be free.
Namun Kelsen mencoba melakukan sebuah penafsiran baru tentang eksistensialisme dikaitkan dengan keniscayaan adanya ikatan yang lahir dari sebuah tatanan sosial. Pendefinisian Kelsen tetang ide kebebasan politik adalah sebuah jalan tengah yang mencoba mengkompromikan dua kutub ekstrim antara kebebasan dan tatanan sosial dengan keniscayaan ikatannya.
Titik kompromi dengan mencoba memberikan pemaknaan baru terhadap ide kebebasan coba diwujudkan kelsen dengan menitikberatkan aspek formal demokrasi. disini tampak bahwa kelsen mencoba melihat upaya perwujudan demokrasi dalam sebuah negara pada rekonstruksi formal pelaksanaan tatanan sosial dengan prinsip mayoritasnya.
Kelsen sangat yakin bahwa sistem yang kemudian dijalankan berdasarkan prinsip mayoritas akan memberikan derajat kebebasan politik bagi subyeknya dan akan semakin mengarah pada cita-cita ideal demokrasi.
Dalam prinsip inilah kemudian pemilu dan dan partai politik mendapatkan pemaknaannya, bahwa pemilihan umum dan partai politik adalah dua institusi penting dalam upaya perwujudan ide kebebasan sebagai derajat demokrasi sebuah negara. Karena dari dua institusi inilah seharusnya ide kebebasan politik itu bisa diwujudkan.
Namun, hal ini mungkin perlu dilakukan pengkajian ulang. Minimal untuk melihat apakah dua institusi tersebut dapat dikatakan sebagai indikator mutlak dari sebuah negara demokrasi. Disinilah sebenarnya letak kelemahan terbesar Demokrasi Formal dan juga Teori Kelsen sebagai pandangan yang didasarkan pada konsep demokrasi formal bahwa “trust” merupakan ikatan antara rakyat dengan institusi-institusi negara termasuk pemilu dan partai politik.
Kelsen tidak mempertimbangkan faktor “trust” subyek terhadap institusi sebagai faktor yang bisa menciptakan jarak bahkan antara rakyat sebagai subyek dengan institusi-institusi yang diharapkan bisa menjadi jembatan untuk mewujudkan ide kebebasan yang dimaksudkan. Pada sebuah konteks negara dimana tingkat kepercayaan rakyat rendah terhadap politik dan sistem tatanan sosialnya, maka kita juga tidak dapat mengatakan bahwa negara itu adalah negara yang demokratis. Tingkat partisipasi politik yang rendah dalam sebuah negara mengartikan bahwa jumlah subyek yang menggunakan pemilu dan partai politik sebagai sarana penyelarasan kehendak-kehendaknya dengan tatanan sosial sedikit. Ini berarti tatanan sosial yang terbentuk bukan perwujudan dari prinsip mayoritas, malainkan merupakan perwujudan dari minoritas. Hal ini tentu saja tidak akan mengarahkan sebuah negara semakin mendekati kutub demokrasi melainkan menarik paksa sebuah negara ke arah otokrasi.
Kelsen mengatakan bahwa apabila mayoritas subyek tidak sepakat dengan sebuah tatanan sosial, maka ada peluang tatanan sosial tersebut untuk berubah dan menyelaraskan bentukannya dengan kehendak mayoritas. Namun, hal ini tampaknya sulit terwujud dalam konteks masyarakat dimana mayoritas kehendak yang tidak sepakat lahir karena tingkat kepercayaan yang rendah subyek terhadap institusi pemilu dan partai politik sebagai media penyelarasan kehendak individu dengan tatanan sosial. Perubahan hanya akan terjadi apabila subyek masih menggunakan institusi pemilu dan partai politik, sedangkan dalam konteks masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan rendah terhadap institusi pemilu dan partai politik hal ini akan sulit terwujud. Karena masyarakat bergerak menjauh dari institusi dan sistem. Akhirnya, mayoritas masyarakat yang apatis harus hidup dalam sistem yang didasarkan pada kehendak minoritas orang.
Mungkin kita bisa menyebut fenomena ini sebagai otokrasi yang berwajah demokrasi. Dan Hans Kelsen dapat dikatakan gagal mengantisipasi munculnya fenomena ini.

Comments

Popular posts from this blog

PRO KONTRA MANTAN TERPIDANA JADI CALEG

Kesalahan Berfikir Ilmiah (Bagian 3) : Fallacy of Misplaced Concreteness

Kesalahan Berfikir (Bagian 2) : Fallacy of Retrospective Determinism