Seperti itulah definisi mereka tentang “Pemilu”

Ini mungkin tahun yang sangat special, tahunnya para penipu. Berbahagialah mereka yang memiliki banyak uang, karena sebagian besar rakyat masih hidup dibawah ambang batas kemiskinan. Di tahun inilah orang-orang kaya bisa membeli dukungan untuk mendudukkannya di tahta kekuasaan dan di tahun inilah para aktivis-aktivis pragmatis berlomba-lomba mendulang emas dari jilatan dan proposal-proposal sampah mereka.
Saya seperti menonton sebuah dagelan, melihat mereka berlomba-lomba dengan segala macam cara untuk mengibuli rakyatnya. Tapi sayangnya mereka tidak terlalu cerdas melakukan itu. Mereka hanya tahu memanfaatkan kondisi eknomi masyarakat sebagai posisi tawar paling menggiurkan yang dengan sekantung ransum mereka bisa mengontrol nasib rakyat selama 5 tahun kedepannya.
Ada yang sibuk mengkampanyekan jargon poros tengahnya. Seolah-olah dirinyalah solusi bagi segala persoalan negeri ini. Dengan jargon “dari kalangan muda”, mereka mencoba mengkonstruksikan citranya sebagai figur alternatif, walaupun mereka juga sebenarnya adalah orang-orang yang dangkal. Orang-orang yang hanya memanfaatkan kejengahan masyarakat akan muka-muka lama. Mereka seharusnya berfikir bahwa usia tidak menentukan kualitas. Bahwa tidak ada hubungan antara apa yang seseorang bisa lakukan untuk rakyat dengan umurnya.
Ada yang sibuk memutihkan dirinya, seolah-olah masyarakat kita sudah memaafkan dosa-dosanya yang mengobrak-abrik harapan mereka selama dua periode. Ada lagi yang sibuk terjebak pada uforia kandidatnya, dengan tingkat elektabilitas survey yang fenomenal hanya karena kandidat itu sedikit menurunkan egonya untuk terjun ke masyarakat. Padahal, seorang pemimpin yang turun kemasyarakat bukan merupakan prestasi yang harus dibanggakan, melainkan itu adalah kewajiban utama. Lihatlah sekarang, apa yang terjadi. Ternyata orang itupun tidak lebih dari pecundang yang hanya mau memanfaatkan momentumnya “mumpung survey lagi tinggi”. Tapi yang namanya kutu loncat tetap saja pecundang.
Ada juga politisi-politisi kelas kacangan yang berfikir bahwa rakyat bisa sejahtera dengan baliho-baliho mereka yang absurd. Dengan wajah-wajah mereka yang sama sekali asing. Dengan tagline mereka yang memaksa dan dangkal atau dengan obsesi mereka yang tidak masuk akal. Seperti jamur yang tiba-tiba muncul pada musim-musim tertentu dan hilang setelah musimnya berkahir. Sekumpulan parasit yang berfikir bahwa pemilu adalah momentum untuk mengubah kehidupan pribadinya.
Dan mereka semua itu lupa bahwa masih ada mereka yang harus menghabiskan hari-harinya dibawah jembatan. Masih banyak petani yang kehilangan tanah. Masih banyak pekerja yang dibayar murah. Masih banyak perempuan yang jadi pelacur untuk pendidikan anak-anaknya. Masih banyak orang yang mencari sesuap nasi di lorong-lorong sanitasi, berjibaku dengan tikus got ataukah kadang kala harus memungut sampah-sampah para pecundang itu.
Dan dagelan negeri ini tetap begitu-begitu saja. Hanya mempertontonkan episode yang itu-itu saja. “Cerita tentang penipu yang mencoba mencari simpati mereka yang lapar”. Dan seperti itulah definisi mereka tentang “Pemilu”.

Comments

Popular posts from this blog

PRO KONTRA MANTAN TERPIDANA JADI CALEG

Kesalahan Berfikir Ilmiah (Bagian 3) : Fallacy of Misplaced Concreteness

Kesalahan Berfikir (Bagian 2) : Fallacy of Retrospective Determinism