Mereka Yang Terlalu Kreatif

Ketika orang-orang kreatif itu melanggar Pasal 24 Huruf d UU No. 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara Serta Lagu Kabangsaan yang menyatakan bahwa “setiap orang dilarang mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara”, mereka dengan lantang berteriak ini adalah kriminalisasi. Mereka dengan lantang berteriak bahwa ini adalah perjuangan ummat. Mereka dengan lantang berteriak bahwa ini adalah bagian dari syariat. Mereka dengan lantang berteriak bahwa tinggi badan Tyrion Lannister setinggi Michael Jordan.

Lalu dimulailah kebiasaan mereka yang absurd. Kebiasaan merekonstruksi sejarah fiktif bahwa kreatifitas tersebut pernah ada dalam etape sejarah perjuangan bangsa. Bahwa itu adalah symbol kelompok Islam yang ikut berjuang melawan penjajah. Kelompok yang namanya mirip dengan Partai terbesar di Lebanon, namun saya baru mengetahuinya bahwa dia pernah ada di Indonesia sejak awal tahun 2017, sejak kasus pelukis bendera mulai beredar di lini masa sosial media. Sumpah saya baru tahu bahwa sejarah itu pernah ada. Saya bahkan tidak membacanya di buku PSPB sejak pertama kali rilis sampai akhirnya punah ditelan kebijakan menteri pendidikan.

Saya lalu mengerutkan kening, sedikit berfikir dan seakan takjub. Mungkin inilah yang kita cari selama ini. Ini etape sejarah yang hilang dari bangsa ini. Inilah elemen penting yang lupa dituliskan oleh Ibunda Hj. Fatmawati Soekarno saat menjahit bendera merah putih. Sungguh, mereka adalah orang cerdas dengan ingatan sejarah yang sangat detil. Terima kasih karena telah mengingatkan kami bahwa menambahkan tulisan di bendera merah putih adalah perbuatan yang legal, syari’i dan bagian dari perjuangan ummat. Terima kasih telah menyadarkan kami yang bodoh ini bahwa Doraemon adalah seekor kucing waria. Ini merupakan informasi yang sangat penting dan sungguh menambah wawasan.

Kita semua yang menghujat kreatifitas itu sebenarnya hanyalah sekumpulan orang-orang yang kaku dan tidak memiliki jiwa seni yang tinggi untuk menghargai kreatifitas tersebut. Ini bukan persoalan melanggar hukum atau tidak, tapi ini adalah persoalan ekspresi estetika yang harus diapresiasi. Seharusnya Jokowi hadir dan memberikan piring cantik atas karya seni luar biasa ini. Karya seni yang pasti membuat Leonardo Da Vinci akan iri seandainya dia masih hidup. Dan mungkin Monalisa pun akan berwajah melayu agar tidak dituduh cina dan antek komunis.

Kita harusnya belajar bagaimana keteguhan hati seorang hafidz dalam memperjuangkan kreatifitasnya. Walaupun dia harus menghadapi ancaman pidana 1 tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) berdasarkan Pasal 67 UU No. 24/2009. Saya pikir hafidz itu adalah orang yang pasti cerdas, bijak dan merupakan warga Negara yang taat hukum. Dia pasti tahu bahwa Indonesia adalah Negara hukum, bukan Negara ormas.


Sudahlah… berhentilah menghujat hafidz tersebut. Dia orang cerdas yang tidak seharusnya dihujat. Seharusnya kita yang introspeksi diri. Seharusnya kita yang merenung bahwa sudah seberapa jauh perjuangan kita menyelamatkan rasionalitas. Karena saya yakin, masih ada orang-orang yang rasionalitasnya perlu diselamatkan. Yaitu mereka yang percaya bahwa Ahmad Dhani adalah tokoh revolusioner. 

Comments

Popular posts from this blog

PRO KONTRA MANTAN TERPIDANA JADI CALEG

Kesalahan Berfikir Ilmiah (Bagian 3) : Fallacy of Misplaced Concreteness

Kesalahan Berfikir (Bagian 2) : Fallacy of Retrospective Determinism